Senin, 01 Februari 2016

Stasiun Bedono, Kisah Stasiun Tua di Puncak Bukit

Semilir angin pegunungan nan sejuk menyambut kehadiran saya ketika tiba di stasiun mungil yang terletak di Desa Bedono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Untuk saya pribadi, itu adalah ketiga kalinya saya bertandang ke stasiun ini. Kali pertama ialah pada saat mengikuti kuliah lapangan Arkeologi Kolonial tahun 2014 silam, pada saat saya masih menjadi seorang mahasiswa. Sementara untuk yang kedua dan ketiga, saya datang ke stasiun itu bersama rombongan Komunitas Kota Toea dalam rangka acara napak tilas jalur kereta yang diadakan oleh komunitas tersebut.
Papan teritisan di samping atap peron.
Peron stasiun Bedono.
Ruang tunggu dan tiket.
Secara kasat mata, bangunan stasiun itu amat sederhana. Ia hanya terdiri dari ruang tunggu penumpang dan sebuah ruangan yang merangkap sebagai ruang kepala stasiun dan ruang penjualan tiket. Bentuknya tidak kelewat besar untuk wilayah sekecil Bedono, namun tidak terlalu keciil juga. Rancangan stasiunnya benar-benar tampak selaras dengan lingkungan sekitar. Kendati mungil, atmosfir kekunoan stasiun itu masih kentara seakan ia melawan arus waktu yang siap menghanyutkannya. Lantai ubin tegel kotak-kotak khas stasiun tua masih dapat ditemukan di stasiun ini. Ubin tegel itu didatangkan dari pabrik tegel terkenal di Belanda karena mutunya yang baik. Berkat tegel itu, lantai stasiun tak akan basah apabila terkena air sehingga orang tidak akan tergelincir saat berjalan di atasnya. Sebuah gagasan yang sedikit terpikirkan oleh orang-orang zaman sekarang. Di dalam salah satu ruang Stasiun Bedono, terdapat brangkas kecil yang melekat pada tembok ruangan sehingga sulit baginya untuk dibawa. Brangkas itu setidaknya menunjukan bahwa sekitar stasiun merupakan wilayah yang rawan dengan aksi perampokan, apalagi letak stasiun agak terpencil yang membuatnya jauh dari jangkauan petugas keamanan.
Jalur rel bergerigi yang masih utuh.
Rel-rel baja yang dahulu pernah dilintasi oleh lokomotif uap masih terbentang di emplasemen Stasiun. Lebar rel yang dipilih adalah 1067 mm, menyesuaikan dengan kondisi medan jalur kereta Ambarawa-Secang berupa wilayah perbukitan sehingga jalur kereta harus dibuat berkelak-kelok laksana ular yang sedang mendaki bukit. Supaya laju kereta mudah mengikuti jalur yang berkelak-kelok, maka ukuran rel diperkecil. Secara geografis, Stasiun Bedono berada di titik tertinggi jalur Ambarawa-Secang, yakni di ketinggian 711 meter dpl. Jalur tersebut melalui punggungan bukit dan terdapat lereng yang kemiringannya lumayan curam di Pingit sehingga cukup berbahaya bagi kereta biasa melintasi jalur itu karena salah-salah kereta bisa tak terkendali dan terguling keluar jalur. Suatu teroboson akhirnya dibuat dengan melengkapi  jalur gerigi pada jalur yang menuju ke arah Bedono. Jalur tersebut hanya dapat dilintasi oleh lokomotif khusus buatan pabrik Esselingen, Jerman yang memiliki roda gigi untuk mencengkeram gerigi yang ada di tengah rel. Jalur kereta Jambu-Bedono-Gemawang adalah jalur bergerigi pertama di Jawa seperti yang disebutkan dalam De Locomotief tanggal 27 September 1904.
Alat pengatur sinyal.

Bak penampungan air.
Corong air.
Berbagai artefak yang berkaitan dengan perkeretapian masih dapat dijumpai di emplasemen stasiun itu. Misalnya adalah corong air yang dahulu menjadi elemen penting di setiap stasiun karena lokomotif saat itu masih bertenaga uap. Corong air digunakan untuk menuangkan air dalam jumlah besar ke dalam ketel lokomotif. Letaknya ada di ujung peron sehingga air dapat diisi ulang saat kereta berhenti. Bentuknya seperti pipa tegak yang di ujungnya terdapat lengan yang dapat diputar sejajar dengan sumbu rel saat tidak digunakan sehingga lengan corong tidak merintang kereta yang akan melintas (Berckel, 1906: 104). Airnya dipasok dari sebuah sumber air alami yang ditampung pada tandon di tebing seberang stasiun. Dengan bantuan gaya tarik bumi, air akan mengalir ke corong itu dan selanjutnya akan mengisi ketel lokomotif yang tersisa sedikit setelah melalui perjalanan menanjak yang berat. 
Turntable atau meja putar.
Cap pabrik pembuat rel putar.
Stasiun Bedono dilengkapi rel putar, turntable, atau draaischijven. Pemutar rel berbentuk seperti balok besi panjang yang bagian tengahnya terdapat poros sehinga dapat diputar (Berckel, 1906: 55). Supaya tidak oleng saat lokomotif berada di atasnya, maka kedua ujungnya ditambahkan roda berjalan yang bertumpu di atas rel melingkar. Pemutar rel di Bedono digerakan secara manual dengan tenaga manusia. Fungsi awal dari rel putar adalah mengganti jalur kereta tanpa harus mengangkatnya. Namun di Stasiun Bedono, fungsi dari rel putar adalah untuk membalikan arah hadap kabin lokomotif. Terdapat perbedaan kekuatan lokomotif yang berjalan maju ataupun mundur. Hal ini kemudian menjadi pertimbangan dalam proses perjalanannya. Saat kereta bergerak mengarah ke Stasiun Bedono yang menanjak, maka rangkain gerbong didorong oleh lokomotif yang diletakan di ujung belakang rangkaian gerbong. Manakala kereta akan meninggalkan stasiun, maka lokomotif yang berjalan menuruni lereng curam harus dapat menahan kecepatan supaya tidak tergelincir. Maka dari itu lokomotif diposisikan di depan rangkaian gerbong dalam posisi berjalan mundur. Dengan demikian ketika ketika sampai Bedono, arah lokomotif yang mendorong kereta baik dari arah Jambu maupun dari Gemawang harus diubah arah hadapnya menyesuaiakan arah perjalanannya. Sejatinya, hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan rel langsir. Sayangnya lahan emplasemen stasiun Bedono kurang panjang untuk dibuatkan halaman langsiran sehingga dibuatlah rel putar di stasiun tersebut.  
Bangunan toilet.
Menelisik sejarahnya, asal muasal stasiun itu masih bersangkut paut dengan kopi, tanaman yang bijinya kita seduh menjadi segelas minuman penuh kenikmatan. Ya, era stasiun itu dibangun beriringan dengan era bergairahnya bisnis perkebunan. Berbagai tanaman komoditas ekspor yang diperkenalkan oleh Belanda pada masa tanam paksa mulai ditanam secara meluas setelah diberlakukannya UU Liberal pada tahun 1870an yang membuka keran investasi swasta dengan tujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi di Hindia-Belanda. Perkebunan partikelir akhirnya muncul dimana-mana, salah satunya ialah Cultuur Maatschappij Banaran yang didirikan 17 April 1877 dan membuka perkebunan kopi di dekat Stasiun Bedono. Di sisi yang lain, perdagangan antara Eropa dan Hindia-Belanda yang melesat maju dengan dibukanya terusan Suez pada tahun 1869. Sayangnya, kemajuan tersebut tadi belum didukung dengan sarana angkut yang layak. Sebelum kehadiran kereta, berbagai hasil perkebunan masih diangkut dengan alat pengangkutan primitif seperti pedati atau hanya dipikul orang saja. Padahal jarak perkebunan dengan pelabuhan terbilang jauh apalagi medannya masih berupa jalan tanah yang seringkali tidak dapat dilalui ketika musim hujan. Karena membawanya memakan banyak waktu, hasil bumi itupun akhirnya membusuk setibanya di pelabuhan (Iskandar, 2011; 102). Bukan untung yang diraih, para pengusaha perkebunan itu kadang malah tertimpa rugi akibat perkara tadi. Dari permasalahan tersebut kemudian muncul kebutuhan terhadap sarana yang layak untuk mengangkut orang dan barang dengan cepat dan murah. Alhasil, setelah Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij (N.I.S.M) sukses membuka jalur kereta Semarang-Vorstenlanden, pemerintah kolonial mendorong N.I.S.M untuk membuka jalur kereta baru yang menjurus ke arah dataran tinggi Kedu. Serangkaian pembangun jalur kemudian dilaksanakan secara bertahap. Salah satu ruas terpenting perannya sekaligus terberat pembangunannya adalah jalur Ambarawa-Secang yang menyambungkan jalur kereta Yogyakarta-Magelang (dibuka 1 Juli 1898) dengan jalur kereta api Ambarawa-Kedungjati (dibuka 21 Mei 1873). Kehadiran jalur tersebut dimaksudkan untuk menghubungkan wilayah dataran Kedu dengan kota pelabuhan Semarang. Desain konstruksi jalur dibuat oleh kepala bagian konstruksi Rosskopf. Sementara kontrak pengerjaannya diborong oleh seorang aanemer Tionghoa asal Parakan bernama Ho Tjong An. Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan jalur kereta di medan perbukitan itu jelas lebih besar dibandingkan di medan yang datar. Sekitar 3000 kuli yang hanya berbekal peralatan seadanya harus bergulat melawan lembah, perbukitan, dan jurang yang dalam. Dengan dana sebesar f 390.000, biaya yang dikeluarkan untuk membangun jalur itu terbilang cukup besar untuk ukuran pembangunan jalur kereta (Maulana, 2012; 79).
Suasana pembukaan jalur kereta Ambarawa-Secang pada 29 Januari 1905. (sumber : collectie.wereldculturen.nl)
Pada 29 Januari 1905, Stasiun Bedono menjadi saksi kemeriahan perayaan yang menandai pembukaan jalur kereta baru yang menghubungkan Secang dengan Ambarawa. Hampir semua tamu undangan tidak melewatkan kesempatan bersejarah itu. Rangkaian kereta berhias yang mengangkut pemangku kepentingan dari Magelang dan Semarang dipertemukan di Stasiun Bedono sesuai dengan jadwal yang ditentukan, yakni pada pukul 9.30 pagi. Perjalanan mereka ke tempat perayaan dilalui begitu mengasyikan dengan melintasi jalur berbukit yang menyuguhkan hamparan pemandangan mengagumkan. Mengiringi perjalanan, alunan merdu musik orkes dari salah satu gerbong berpadu harmonis dengan mulusnya suara kereta. Setibanya di Stasiun Bedono, mereka disuguhkan dengan hidangan lezat yang dibuatkan oleh restoran terkenal dari Semarang, “Maison Smeabers”. Sambutan-sambutan diberikan mulai dari Stenimetz (presiden dewan direksi N.I.S), Ter Meulen (Residen Kedu), Pieter Sijthoff (Residen Semarang), Van Huizen (perwakilan perusahaan Semarang-Joana Stoomtram) dan Kolonel Otken (perwakilan militer). Momen-momen bersejarah tersebut diabadikan oleh studio fotografi “O. Hisgaen & Co.” (De Locomotief, 30 Januari 1905). Sementara itu sehari sebelumnya, nuansa kearifan lokal tampak ketika penduduk pribumi mengadakan upacara selamatan yang diyakini dapat mendamaikan makhluk tak kasat mata yang wilayahnya sudah terganggu akibat pembangunan (De Locomotief, 21 Januari 1905). Teknologi kereta api sebagai salah satu puncak penemuan Revolusi Industri nyatanya masih belum mampu mencabut tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat yang sudah lama tertancap. Hal tersebut seakan menunjukan bahwa di Jawa, hasil kemajuan ilmu pengetahuan dari Barat masih berkelindan dengan tradisi dan kepercayaan lama masyarakat setempat.
Lokasi stasiun Bedono pada petaa lama tahun 1915 (sumber : Ambarawa en Salatiga en Omstreken). Nampak lokasi stasiun Bedono tidak begitu jauh dari perkebunan kopi Banaran.
Sebagaimana Stasiun Bedono yang berada di puncak bukit, jalur kereta Ambarawa-Magelang yang melintasi Bedono adalah puncak pembangunan jalur kereta yang dilakukan oleh N.I.S Di sinilah mereka berhasil menaklukan medan pegunungan yang sebelumnya sulit dijangkau. Kedudukan jalur tersebut amatlah penting ditinjau dari segi ekonomi, militer, dan pariwisata. Dari segi ekonomi, pertukaran barang antar wilayah pesisir dan pedalaman akan berajalan lebih lancar. Selain itu, jalur tersebut juga mempermudah perkebunan untuk mengirim hasil panen ke pelabuhan dalam jumlah besar dengan waktu yang lebih ringkas. Selanjutnya dari segi militer, moda transportasi kereta api sangat membantu untuk mengangkut pasukan militer dari garnisun Magelang dan Willem I ke pelabuhan Semarang. Sebelumnya, butuh dua hari perjalanan untuk menuju pelabuhan. Dengan kereta, maka perjalanan dapat ditempuh hanya dalam sehari saja. Sementara dari segi parwisata, jalur itu menjadi atraksi wisata tersendiri karena selama perjalanan para penumpang kereta akan disuguhkan dengan keindahan hamparan persawahan yang menenteramkan jiwa, damainya perkampungan dengan pohon nyiur yang melambai tertiup angin, dan barisan perbukitan yang menawan. Sebagai daya pikat wisata, tak mengherankan jika buku panduan wisata terbitan Koninklijke Paketvaart Mij. menganjurkan agar para penumpang kereta dari Semarang ke Yogyakarta untuk mengambil jalur ini. Begitu bernilainya jalur tersebut bagi banyak pihak sehingga jalur rel tersebut tidak hanya sekedar dianggap jalan baja namun juga jalan emas. 
Sebuah kereta dari arah Ambarawa menuju Bedono. (sumber : Les Chemins de Fer Ile de Java)
Sejalan dengan pertumbuhan kendaraan roda empat seperti truk dan mobil yang tumbuh pesat di tahun 1970an, Stasiun Bedono secara berangsur mulai ditinggalkan oleh penumpang yang beralih moda transportasi lain. Tahun 1978, Stasiun Bedono dinonaktifkan sebagai stasiun penumpang reguler dan pupus sudah kejayaan jalur kereta Ambarawa-Secang yang sarat kenangan. Untunglah bangunan stasiun itu masih dilestarikan dengan baik. Jalur kereta Ambarawa-Bedono yang sempat tertidur akhirnya dibangkitkan kembali sebagai jalur kereta wisata.

Referensi
Berckell. H. Van. 1906. Spoorwegbouw en -onderhoud. Zwolle : W.E.J. Tjeenk Willink.
Iskandar, Sri Chirullia. 2011. "Pendirian Stasiun Willem I di Kota Ambarawa" dalam Jurnal Papua TH.III No.1/Juni 2011.
Koninklijke Paketvaart Mij1911. Guide Through Netherlands India. Amsterdam : J. H. de-Bussy. 
Maulana, Caesar Bayu. 2012. "Latar Belakang pembangunan dan Perkembangan Jalur Kereta api NISM Yogyakarta-Ambarawa 1898-1942 (Kajian Ekonomi,Sosial dan Politik)". Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api, Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten : Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
De Locomotief, 27 September 1904.
De Locomotief, 21 Januari 1905.
De Locomotief, 30 Januari 1905.

7 komentar:

  1. ajak ajak dong mas lengkong :)

    BalasHapus
  2. @ Jati Pikukuh : Yo ayo nek arep melu.Haha

    BalasHapus
  3. Terimakasih..tulisannya bagus dan sangat bermanfaat. Jadi ingin jalan -jalan sendiri kesana. Kebetulan sedang kuliah di semarang

    BalasHapus
  4. Menjaga dan merawat peninggalan sejarah ,smoga menjadi ladang ibadah.mantap betul, generasi sekarang masih bisa tau

    BalasHapus
  5. Sebelum Theresiana dibangun dulu, terdapat bangunan apa ya?

    BalasHapus
  6. terimakasih informasinya.. tulisan yang bagus

    BalasHapus