Jumat, 28 Juli 2017

Stasiun Tanggung, Stasiun Kecil Monumen Sejarah Kereta Api di Indonesia

Stasiun kayu itu memang tidak begitu monumental ukurannya. Dari segi estetik juga tidak indah amat. Namun stasiun itu begitu istimewa dalam sejarah perkereta-apian negeri ini. Ya, seperti itulah Stasiun Tanggung, sebuah stasiun kecil yang terletak di Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah.
Peron stasiun Tanggung. Terlihat hamparan lantai tegel yang masih asli.
Ketika sampai di Stasiun Tanggung, saya nyaris tidak percaya bahwa stasiun dari kayu itu masih kokoh berdiri menantang zaman. Untuk bangunan sejenis, di Jawahanya ada empat buah saja yang masih berdiri. Pertama adalah Stasiun Tanggung ini, berikutnya adalah Stasiun Maguwo Lama, Stasiun Gresik, dan Stasiun Mayong yang sudah berpindah dari tempat asalnya di Jepara, ke sebuah resort di Magelang. Nasib Stasiun Tanggung sendiri nyaris seperti Stasiun Mayong. Pada 1980, Stasiun Tanggung rencananya akan diboyong ke TMII. Namun rencana tadi akhirnya dibatalkan. Kini Stasiun Tanggung menjadi satu-satunya stasiun kayu yang masih dipakai.
Beberapa contoh bangunan stasiun dari kayu yang ada di Jawa. Kiri atas merupakan bangunan Stasiun Gresik ( sumber foto : flickr.com ), kanan atas ialah bangunan Stasiun Mayong, Jepara yang kini dipindah di sebuah resort di Magelang ( sumber foto : jejakbocahilang.wordpress.com ), kanan bawah Stasiun Tanggun, dan kiri bawah adalah Stasiun Maguwo Lama. Dari keempat stasiun tersebut, hanya Tanggung saja yang masih aktif.
Dengan konstruksi kayunya yang masih belum berubah, bangunan Stasiun Tanggung adalah mesin waktu yang mengantarkan saya pada perjalanan panjang transportasi kereta. Saya pun sejenak merenungkan sejarah kereta api yang terbentang panjang seperti sebuah rel lurus.

Entah benar atau tidak, kehadiran kereta api di Pulau Jawa telah diramalkan jauh hari sebelum penjajah Eropa menginjakan kakinya ke Nusantara. Maharaja Jayabhaya, raja kerajaan Kediri yang memerintah pada abad ke 12 dipercaya membuat sebuah nubuat yang menggambarkan kondisi Pulau Jawa di masa depan. Salah satu nubuat tersebut berbunyi “Kelak akan ada kereta yang berjalan tanpa kuda dan Pulau Jawa akan berkalung baja”. Tentu nubuat tersebut sulit dipahami oleh orang pada masa itu. Bagaimana bisa ada sebuah kereta yang bisa berjalan tanpa kuda dan yang lebih mengherankan, bagaimana membuat Pulau Jawa berkalung baja ? Sebuah jawaban yang akan terjawab tujuh abad kemudian.
Monumen peringatan di depan Stasiun Tanggung.
Abad 19 di Eropa sana merupakan masa munculnya penemuan-penemuan cemerlang mahakarya dari Revolusi Industri. Salah satunya adalah lokomotif uap yang ditemukan oleh George Stephenson pada 1829. Mesin baru tersebut dapat menarik beban lebih banyak dan sedikit lebih cepat ketimbang kuda (Burschell, 1984;14). Dua dasawarsa sejak keberhasilan Stephenson, jalur kereta api mulai mengular di seantero Eropa termasuk wilayah koloni mereka.
Foto Stasiun Tanggung ketika baru saja dibuka pada tahun 1867. Wilayah sekitar stasiun masih terlihat seperti sebuah frontier. Foto ini diambil oleh agensi foto Woodbury & Page, co ( Sumber : media-kitlv.nl ).
Era sebelum kereta api dibangun adalah era yang menyiksa bagi orang-orang Belanda yang hendak pergi menuju ke pedalaman. Saat itu satu-satunya sarana jalan yang masih bagus hanyalah jalan bikinan Daendels yang dibangun di sepanjang pantai utara. Sementara itu, moda angkutan yang ada juga masih terbatas. Pemerintah kolonial yang hendak mengangkut komdoditas hasil tanam paksa dari perkebunan ke pelabuhan hanya memiliki dua pilihan, antara pedati atau kuli angkut, dimana keduanya sama-sama lamban dan daya angkut sedikit. Hasil-hasil perkebunan akhirnya sudah berkurang mutunya ketika sampai di pelabuhan. Berangkat dari permasalahan tersebut, pada 1840 tercetus sebuah gagasan  dari Kolonel Jhr. Van der Wijk untuk membuat jalur kereta di Jawa. Gagasan Van der Wijk tadi segera menjadi topik perdebatan yang menghangat di Parlemen Belanda. Setelah tenggelam sekian lama, gagasan tadi mencuat kembali ketika semakin banyak perkebunan yang dibuka di Jawa apalagi setelah melihat kesuksesan Inggris membuat jalur kereta di India pada tahun 1853. Sebagai langkah awal, sebuah studi banding dilakukan oleh Stieljtes. Ia mengusulkan agar jalur kereta dibuat dari Semarang dengan tujuan Salatiga lewat Ungaran. Alasan Stiejtes adalah karena di Salatiga terdapat garnisun militer dan populasi orang Eropa cukup banyak. Berbeda dengan usul Stieljtes, sebuah konsorium yang dibentuk oleh Poolman, Fraser, dan Kol justru mengusulkan agar jalur kereta dibuat dari Semarang dengan tujuan Yogyakarta lewat Solo. Pertimbangan mereka adalah jalur yang diusulkan oleh Stieljtes akan makan banyak biaya dalam proses pembuatannya. Selain itu, wilayah Vorstenlanden yang mencakup Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta merupakan wilayah penghasil tanaman ekspor yang memperkaya kas pemerintah kolonial. Setelah melobi pemerintah, konsorium milik Poolman cs akhirnya diberi konsensi membangun jalur kereta dari Semarang- Vorstenlanden. Konsorium tersebut kelak menjadi Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, perusahaan kereta pertama di Hindia-Belanda ( Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997; 48-53 ).
Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele ( 1806-1890 ), Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang meresmikan pembangunan jalur kereta api di Hindia-Belanda.
Gempita upacara peresmian menjadi awal dari pembangunan kereta seperti yang diungkap oleh Liem dalam buku Riwajat Semarang. Dapat dimaklumi karena jalur itu akan memberi manfaat luar biasa bagi kolonial Belanda. Sehari sebelum perayaan, Gubernur Jenderal Mr. Baron Slur (Sloet) van de Beele telah tiba di Semarang diiringi dengan para pembesar dan serdadu. Saat hari upacara tiba tiba, di sepanjang jalan dari kediaman Residen hingga lokasi pencangkulan pertama di Tambaksari, masyarakat tumpah ruang memadati jalan. Sesuai dengan adat kolonial, mereka harus berjongkok ketika Gubernur Jenderal lewat. Trap-trap yang dihias indah menyambut sang gubernur ketika tiba di lokasi pencangkulan yang disambut begitu antusias oleh masyarakat. Maklum saja karena lawatan seorang Gubernur Jenderal merupakan hal yang jarang terjadi pada waktu itu. Pada 17 Juni 1864, dengan diiringi musik militer dan gamelan, Gubernur Jenderal melakukan upacara menyerok tanah sebagai tanda diawalinya pembangunan jalur kereta Semarang-Vorstenlanden. Serokan pertama itu sekaligus menjadi langkah pertama sejarah transportasi kereta di Nusantara ( Liem Thian Joe, 1931; 162 ).
Stasiun Samarang, stasiun pertama di Indonesia yang berdiri tahun 1867. Foto diambil sekitar tahun 1905. ( sumber : media-kitlv.nl ).
Selama pembangunan, tersiar selentingan yang menyebutkan bahwa banyak penculik anak kecil yang keluar masuk perkampungan. Anak kecil ini nantinya akan dijadikan sebagai tumbal pembangunan jembatan mengingat takhayul masyakat pada waktu itu bahwa setiap pembangunan jembatan memperlukan sesajen agar selamat. Selentingan tersebut menyebar begitu cepat bagai kabar hoax pada masa sekarang. Masyarkatpun gempar mendengar selentingan tersebut. Orang-orang tua mengawasi anaknya lebih ketat. Setiap menjelang senja, anak-anak harus kembali ke rumahnya masing-masing. Setelah pembangunan jalur kereta yang selesai pada tanggal 10 Agustus 1867, masih muncul selentingan aneh lagi. Di tengah masyarakat yang masih dililit oleh takhayul, kereta api dianggap barang yang ajaib sekaligus mengerikan. Mereka percaya bahwa kereta api dijalankan dengan kekuatan setan karena dapat bergerak sendiri tanpa perlu ditarik kuda. Oleh sebab itulah pada awalnya banyak orang pribumi dan Tionghoa yang tidak berani naik kereta api lantaran percaya jika mereka naik kereta api, mereka akan dimakan oleh setan penunggu kereta. Sungguhpun demikian, kereta api perlahan mulai diterima oleh banyak orang (Liem Thian Joe, 1931; 163).

Di samping stasiun, terletak tugu peringatan dengan roda kereta bersayap yang berdiri di puncak tugu. Kalimat “Di Bumi inilah kita bermula” tertulis pada tubuh tugu itu. Tugu itu seharusnya didirikan di eks Stasiun Samarang di Kemijen, Semarang yang menjadi stasiun kereta api pertama di Indonesia. Namun sayangnya jejak stasiun tersebut sudah sulit dilacak. Menurut rencana, pembangunan jalur kereta masih akan dilanjutkan sampai Vorstenlanden. Namun rencana tersebut terganjal kesulitan finansial akibat biaya pembangunan yang ternyata melonjak dari perkiraan  awal sehingga pembangunan jalur kereta masih tanggung sampai di stasiun Tanggung. Bahkan tahun 1868, proyek ambisius tersebut terancam gagal. Sesudah mendapat kucuran dana dari pemerintah dan pengusaha, akhirnya pembangunan jalur kereta dapat diteruskan sampai wilayah  Vorstenlanden pada 1870. Tersambungnya Vorstenlanden dengan Semarang berdampak positif. Hasil-hasil perkebunan dapat diangkut dengan mudah dan cepat sampai pelabuhan. Sebagai operator, N.I.S.M menangguk banyak untung. Kesuksesan jalur kereta Semarang-Vorstenlanden mengilhami dibangunnya jalur kereta api di tempat lain oleh pemerintah atau swasta. Walau pemerintah kolonial di Jawa membantu pembangunan jaringan kereta, tetapi porsi terbesar digarap oleh perusahaan-perusahaan swasta. Dalam beberapa puluh tahun saja, hampir seluruh Pulau Jawa dibangun jalur rel yang saling menyambung satu sama lain tanpa putus, seolah Pulau Jawa berkalung besi.
Kesederhanaan ruang tunggu Stasiun Tanggung.
Agensi fotografi Woodbury & Page co pernah mengambil gambar Stasiun Tanggung ketika stasiun itu belum lama dibuka. Di foto itu terlihat wilayah sekitar stasiun yang kosong melompong. Memang saat itu Tanggung dapat disebut sebagai area frontier yang nyaris tak tersentuh oleh peradaban. Menariknya, bentuk bangunan stasiun yang tampak pada foto tersebut berbeda dengan bentuk yang sekarang terlihat. Usut punya usut ternyata Stasiun Tanggung dirombak sendiri oleh N.I.S.M pada awal abad ke 20. Gaya arsitektur Swiss Chalet menjadi pilihan untuk bangunan staisun yang baru. Kala itu, gaya Swiss Chalet lazim dipakai pada bangunan lumbung, kandang, atau rumah tinggal di Swiss. Dengan banyaknya turis yang bertamasya menikmati hawa sejuk Alpen di Swiss, maka pada abad ke-18, arsitektur Swiss Chalet menyebar ke Eropa, utamanya di Jerman dan Belanda. Sederhana namun cantik adalah kesan yang didapatkan dari gaya Swiss Chalet ( Davies dan Jokkinemi, 2008; 373 ). Maka, jadilah gaya arsitektur dari pegunungan Alpen yang sejuk, dipakai pada Stasiun Tanggung di dataran rendah yang cenderung panas.
Dinding sisi barat Stasiun Tanggung. Stasiun Tanggung merupakan stasiun bergaya Swiss-Chalet.
Stasiun Tanggung didampingi oleh sebuah rumah tua kecil yang juga terbuat dari kayu. Berbeda dengan kebanyakan rumah peninggalan kolonial yang pada umumnya menyatu dengan tanah, rumah tersebut dibuat seperti rumah panggung. Sebab rumah itu dibuat demikian karena wilayah Tanggung kerap diterjang banjir. Di masa lampau, rumah tersebut dihuni oleh kepala Stasiun Tanggung.
Rumah dinas Stasiun Tanggung.
Sekian kisah dari Stasiun Tanggung, sebuah stasun sederhana yang menyimpan cerita sejarah besar, utamanya sejarah kereta api. Kehadiran kolonial Belanda di negeri ini memang membawa kenangan pahit, namun setidaknya ada hadiah berharga yang diberikan darinya, yakni kereta api. Berkat kereta api, kota-kota di Jawa tersambung satu persatu. Tidak terbayangkan jika seandainya kereta api tidak pernah dibangun di Jawa, mungkin selamanya Jawa akan terbelakang seperti pulau-pulau lain yang belum memiliki jalur kereta. Semoga stasiun kecil ini tetap lestari…

Referensi
Burschell, S.C. 1984.  Abad Kemajuan. Jakarta : Penerbit Tira Pustaka

Davies, Nikolas dan Erkki Jokiniemi. 2008. Dictionary of Architecture and Building Construction. Oxford : Architectural Press.

Liem Thian Joe, 1931, Riwajat Semarang. Batavia : Boekhandel Drukkerij.

Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api , Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten ; Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Tim Telaga Bakti Nusantara. 1997. Sejarah Perkereta-apian Indonesia Jilid I. Bandung ; Penerbit Angkasa.

Rabu, 19 Juli 2017

Menziarahi Karya Karsten; Dari Pasar, Kantor, Gedung Pertunjukan hingga Museum

Dalam belantika sejarah arsitektur Indonesia, nama Thomas Karsten termasuk nama yang populer. Beragam karyanya masih berdiri megah pada beberapa kota di Indonesia, utamanya di Semarang. Dalam kesempatan kali ini, saya mengajak anda untuk menziarah karya Karsten, menelisik seluk beluk sejarahnya, dan memahami pandangan Karsten mengenai jatidiri arsitektur Indonesia. Adapun karya yang akan diangkat pada tulisan ini meliputi gedung pasar, kantor, gedung pertunjukan, hingga museum.
Keluarga Karsten pada tahun 1930an (sumber : Semarang Beeld van een Stad).
1914 adalah tahun ketika Karsten menjejakan kakinya ke Hindia-Belanda. Dengan mengantongi ijazah arsitektur dari kampus Technische Hoogeschool Delf, arsitek kelahiran Amsterdam, 22 April 1884 itu mengikuti ajakan seniornya, Henri Maclaine Pont yang memiliki biro arsitek di Hindia-Belanda. Di sinilah Karsten meniti karirnya hingga ia menjadi arsitek yang cemerlang dalam semesta arsitektur kolonial. Kecermelangannya diakui oleh banyak orang karena ia mampu hidup di dua alam pikir, yakni alam barat modern dan alam Jawa tradisional. Alam pikirnya dituangkan dalam wujud karyanya yang dapat menyesuaikan arsitektur modern dengan kondisi alam setempat (Brommer, 1995; 27).
Tampak luar Pasar Jatingaleh.
Karya Karsten yang paling dikenang banyak orang tentu saja adalah Pasar Johar. Membicarakan Pasar Johar seolah tak lepas dari sosok Karsten karena ialah sosok utama yang membentuk rupa Pasar Johar seperti sekarang. Namun belum banyak yang tahu jika rancangan Pasar Johar merupakan salinan bentuk lebih besar dari Pasar Jatingaleh yang dirancang oleh Karsten pada tahun 1929. Dibandingkan Pasar Johar, Pasar Jatingaleh memang tidak memiliki ukuran yang besar dan fasad yang mencolok sehingga keberadaanya tidak mudah terlihat dari jalan raya. Meskipun usianya sudah uzur, namun tampilan arsitektur pasar ini masih relevan di masa kini sehingga dapat dibayangkan betapa modernnya pasar ini sewaktu dibuka pertama kali. Pasar Jatingaleh yang sekarang ini sejatinya menggantikan pasar partikelir lama milik kepala desa Jatingaleh. Lokasi pasar lama tersebut berada di seberang Pasar Jatingaleh yang sekarang. Pembangunan Pasar Jatingaleh yang baru masih bersangkutan dengan perkembangan daerah Jatingaleh paska militer Belanda mendirikan tangsi di sana pada tahun 1921. Pasar Jatingaleh yang lama tentu menjadi semakin ramai dan berimbas dengan naiknya pemasukan pasar dari pungutan pedagang (De Locomotief 20 Juni 1932)

Tiang-tiang cendawan Pasar Jatingaleh.
Besarnya pendapatan yang diterima ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kebersihan pasar. Hal tersebut jelas dikeluhkan oleh pihak militer. Meskipun demikian pemerintah kotapraja tidak tergesa untuk membuka pasar baru di sana karena belum yakin jika pasar baru itu dibuka, pasar akan sama ramainya dengan pasar yang dahulu. Pemerintah kotapraja Semarang akhirnya mendirikan sebuah pasar percobaan di seberang pasar Jatingaleh yang lama pada tahun 1930. Mengingat sifatnya masih uji coba maka materialnya masih dibuat dari bahan kayu. Seandainya pasar percobaan tersebut dinilai ramai, baru pasar itu akan dibuatkan bangunan permanen. Pasar percobaan itu rupanya mendulang pemasukan yang lumayan besar sehingga pemerintah kotapraja memutuskan untuk membuat pasar permanen di sana (De Locomotief 20 Juni 1932).
Bagian tempat pedagang.
Pemerintah kotapraja terlebih dahulu mendata jumlah pedagang pasar. Dari data tersebut akan diketahui berapa anggaran yang dibutuhkan untuk pasar baru tersebut. Proses perancangan bangunan pasar baru tersebut lalu digarap oleh Thomas Karsten. Pemerintah kotapraja menentukan kriteria yang wajib dipenuhi Karsten, yakni seluruh pasar harus tertutup atap, atapnya harus rata agar tidak menjadi sarang burung liar, air hujan tidak mudah merembes ke dalam, dan tempat penjualan tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Karsten ternyata sanggup merancang bangunan pasar yang memenuhi kriteria yang sudah dijabarkan sebelumnya. Pasar tersebut tidak menggunakan konstruksi atap kuda-kuda yang akan digunakan pedagang sebagai tempat menggantung barang dagangan sehingga merusak pemandangan pasar. Sebagai gantinya, Karsten menggunakan tiang-tiang cendawan sebagai penopang atap. Konstruksi bangunan pasar tersebut seluruhnya tersusun dari beton yang dipasok oleh Hollandsch Beton Maatschappij. Material beton dipilih karena Karsten menilai material tersebut akan membuat pasar menjadi senantiasa bersih, tangguh, dan mampu bertahan dari ancaman kebakaran (Karsten, 1938 ;66). 
Bangunan Pasar Jatingaleh sebelum ditempati pedagang.
(sumber : collectie.wereldculturen.nl)
Pada pukul delapan pagi tanggal 1 Juli 1932, Pasar Jatingaleh dibuka secara resmi. Sejumlah pembesar kota Semarang hadir dalam kesempatan tersebut. Sesaat setelah diresmikan, keberadaan pasar berarsitektur modern tersebut menimbulkan tanda tanya tersendiri karena Pasar Jatingaleh terlalu bagus tampilannya untuk ukuran Jatingaleh yang masih daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota. Beberapa kalangan meragukan apakah Jatingaleh betul-betul layak memiliki bangunan pasar yang tergolong modern di masanya. Mereka juga meragukan kesanggupan pedagang pasar Jatingaleh dalam membayar sewa pasar yang semakin mahal sementara pada saat yang sama mereka sedang menghadapi gejolak krisis ekonomi malaise yang membuat gairah perdagangan menurun (Algemeene Handeslblad 1 Juli 1932). Walaupun demikian, pembangunan Pasar Jatingaleh boleh dikatakan sebagai proyek rintisan karena beberapa pasar di Semarang selanjutnya dirancang mengikuti model pasar tersebut. Model tiang tersebut selanjutnya ditiru Karsten dalam skala besar untuk bangunan Pasar Johar.
Pasar Johar dilihat dari sisi alun-alun Semarang.
Sisi utara Pasar Johar.
Pasar Jatingaleh yang dilengkapi dengan deretan tiang cendawan penyangga atap datar kemudian menjadi model untuk bangunan Pasar Johar, karya Karsten yang paling dikenang banyak. Membicarakan Pasar Johar seolah tak lepas dari sosok Karsten karena ialah sosok utama yang membentuk rupa Pasar Johar seperti sekarang. Menengok asal-usul pasar ini ke belakang, maka kembalilah ke waktu yang lebih belakang, yakni tahun 1860, ketika Pasar Johar masih merupakan bagian dari alun-alun Semarang. Di tepi alun-alun itu, tumbuh pohon-pohon Johar atau mahoni yang memberi keteduhan bagi orang yang ada di bawahnya. Di dekat alun-alun itu, dulu pernah ada sebuah penjara dan sanak keluarga yang hendak menejenguk saudaranya yang dibui biasanya berteduh di bawah pohon johar itu. Lantaran tempat itu dekat dengan Pasar Pedamaran, pasar terbesar di Semarang kala itu, maka lambat laun tempat itupun tumbuh menjadi pasar. Mengingat para pedagang berjualan di bawah naungan pohon johar, maka pasar itu dikenal dengan nama Pasar Johar. Pada 1890, pasar itu pun kian ramai dan geliatnya mampu menyaingi Pasar Pedamaran yang sudah lebih dulu ada. Antara tahun 1898 hingga 1900, sudah ada 240 pedagang yang menjual barang-barang seperti mangkuk, piring, kain, barang kelontong, barang besi, dan sebagainya (Liem, 1931; 176-177). Mereka menempati los-los terbuka yang dibangun oleh pemerintah kolonial dengan biaya sebesar 18.000 gulden. Setiap pedagang ditarik iuran sebesar 75 gulden. per bulan. Pembagian los-los tersebut ditentukan dengan sistem undian.
Kondisi Pasar Johar lama pada tahun 1900 awal
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Seteleh pemerintah gemeente atau kotamadya Semarang terbentuk pada tahun 1906, pengelolaan beberapa pasar di Semarang seperti Ambengan, Karangbidara, Kranggan, Pedamaran kidoel, Pedamaran-lor, Pedamaran Tengah, Peterongan dan Sayangan diambil alih oleh pemerintah kotamadya. Pasar-pasar tersebut saat itu memiliki keadaan kotor dan gelap sehingga pemerintah kotamadya Semarang mengupayakan program renovasi bangunan pasar-pasar di Semarang menjadi modern. Sementara itu pada tahun 1912, pemerintah kotapraja juga telah menyusun rencana untuk mendirikan sebuah pasar induk di jantung kota Semarang. Pasar induk ini nantinya akan berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan yang akan menampung para pedagang dari Pasar Johar, Pedamaran, Beteng, Jurnatan, dan Pekojan.
Bagian Pasar Johar yang menghadap ke alun-alun Semarang
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Sisi utara Pasar Johar
(sumber : digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Saat itu belum ada orang yang tahu dimana pastinya lokasi pasar induk dibangun. Lalu muncul berbagai spekulasi dimana pasar induk akan bertempat mulai dari Bugangan, lalu sebelah timur Stasiun Tawang, hingga bekas barak Wurtemberg di Jurnatan. Belakangan, pemerintah kotapraja memilih lokasi pasar induk di tempat Pasar Johar berdiri. Namun rencana itu belum memungkinan untuk diwujudkan dalam waktu dekat karena terhalang dengan proses pengalihan penjara di selatan Pasar Johar yang berlarut-larut. Pasar Johar akhirnya belum bisa diperbaiki padahal di saat yang sama beberapa pasar di Semarang sudah dikembangkan menjadi pasar beton. Pengembangan terhadap Pasar Johar sebatas ditingkatkan pengamanannya pada tahun 1924 atas permintaan pedagang pasar supaya mereka tidak perlu membawa keluar semua barang dagangan dari pasar (Gemeente Semarang 1931: 181).
Kondisi Pasar Johar sebelum ditempati pedagang. 
Rencana pembangunan Pasar Johar menemukan titik terang setelah para tahanan penjara di selatan Pasar Johar mulai dipindahkan ke penjara baru di Bandung pada tahun 1930 (De Locomotief, 27 juni 1930). Setelah melewati proses pemindahan sekitar delapan bulan, barulah penjara lama tersebut diserahkan kepada pemerintah kotapraja pada tahun 1931. Tanah di sekitarnya lalu dibeli pemerintah untuk proyek tersebut dan Thomas Karsten kemudian didapuk oleh pemerintah kotapraja untuk merancang gedung pasar induk pada tahun 1933. Rancangan pasar induk itu menyalin bentuk dari Pasar Jatingaleh yang dirancang oleh Karsten pada tahun 1929.
Gambar potongan Pasar Johar yang mengalami dua kali perubahan rancangan
(sumber : Locale Techniek Maret 1938.
Rancangan kedua dari Pasar Johar yang tidak dipakai karena naiknya harga besi.
Berdasarkan rancangan awal yang sudah dibuat Karsten, pembangunan pasar baru tersebut akan memakan biaya sebesar 950.000 gulden. Tiang cendawang yang kini menjadi ikon Pasar Johar nyaris tidak akan terlihat karena dalam perjalanan berikutnya, kendala keuangan mengakibatkan rancangan awal diubah bentuknya dan material beton diganti dengan besi. Proyek tersebut selanjutnya dilelang dan dimenangkan oleh Hollandsche Beton Maatschappij (HBM). Harga besi rupanya meroket di pasaran sehingga HBM mengganti rancangan yang sudah disepakati dan kembali menggunakan material beton sebagaimana rancangan Karsten sediakala. Desain final itu disetujui pada 1 Oktober 1937 dengan rencana anggaran sebesar 486.850 gulden.

Suasana Pasar Johar di masa kolonial (sumber : commons.wikipedia.org).

Suasana Pasar Johar di masa sekarang.
Setelah persiapan pra-pembangunan dirasakan sudah cukup, bangunan Pasar Johar lama mulai dibongkar dan pedagang dipindahkan ke pasar sementara di utara pekarangan rumah bupati. Beberapa rumah di sekitarnya juga dibeli untuk perluasan pasar. Selain bangunan pasar, Karsten pada saat yang sama juga membuat penataan jalan baru di selatan pasar untuk menghubungkan alun-alun dengan kampung Kranggan. Hal ini dimaksudkan agar Pasar Johar mudah diakses dari berbagai arah. Awal pembangunan Pasar Johar ditandai dengan seremoni penuangan beton pertama pada 4 Maret 1938 diadakan yang dihardiri oleh berbagai tokoh penting dari unsur pemerintahan dan masyarakat kota Semarang. Acara itu kemudian diikuti dengan ritual slametan yang digelar oleh pegawai pribumi HBM (Algemeen Handeslblad voor N.I 4 Maret 1938). 

Suasana pembukaan Pasar Johar
(sumber : collectie.wereldculturen.nl)
Setelah melewati masa pembangunan yang berlangsung relatif singkat, Pasar Johar dalam wajah barunya diresmikan pada hari Sabtu, 10 Juni 1939. Pada hari yang bersejarah itu, masyarakat berbondong-bondong datang ke Pasar Johar untuk menyaksikan momen diresmikannya pasar kebanggan warga Semarang itu. Polisi lalu lintas tampak sibuk mengatur jalanan di sekitar pasar yang ramai. Sekitar pukul setengah sepuluh, rombongan tamu penting tiba di pasar. Walikota H. E. Bolssevain yang berhalangan hadir karena sakit. Di antara rombongan tersebut juga tidak terlihat sosok Karsten. Sementara itu di sisi gedung pasar yang lain diadakan slametan sebagai ungkapan rasa syukur atas lancarnya pembangunan pasar (Algemeen Handeslblad 10 Juni 1939)
Lubang atap sumber pencahayaan dan udara alami.

Bagian lantai dua Pasar Johar.
Tangga Pasar Johar.
Letak Pasar Johar memang amat strategis karena berada di titik pertemuan antara kawasan perdagangan Eropa di Kota Lama dan Bojong dengan kawasan perdagangan Tionghoa di Pecinan. Letak yang strategis kemudian menjadi tantangan bagi perancangnya karena letaknya yang berada di pusat kota menyebabkan harga tanahnya menjadi mahal sehingga luas lahan yang tersedia menjadi terbatas. Untuk mengatasi kendala tersebut, Karsten mengakalinya dengan membuat sisi luar pasar menjadi berlantai dua (Karsten, 1938 ;66). Hal tersebut sebenarnya bukanlah hal baru bagi Karsten karena ia pernah melakukan hal serupa pada bangunan Pasar Gede di Surakarta yang juga merupakan hasil rancangannya. Karsten juga mengubah citra pasar tradisional yang awalnya dipandang sebagai tempat yang kotor, pengap dan gelap menjadi pasar yang bersih, terang dan sejuk. Untuk mewadahi kebiasaan pedagang yang dahulu berjualan dengan duduk bersila, maka dibuatlah panggung memanjang sehingga pembeli tidak perlu membungkukan badan namun pedagang masih dapat berdagang dengan cara lama. Di bawah panggung itu ada semacam ceruk kecil yang dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan barang. Mengingat Pasar Johar adalah pasar berlantai dua, maka akses tangga ditempatkan di luar dan dalam pasar untuk mempermudah akses ke lantai dua.
Salah satu tiang yang sengaja tidak dibersihkan sebagai pengingat terbakarnya Pasar Johar pada tahun 2015.
Sekian tahun lamanya Pasar Johar menjadi kawasan perdagangan terbesar di kota Semarang dengan komoditinya yang lengkap. Di bawah tiang-tian cendawan rancangan Karsten, berkumpulah segenap orang-orang dari berbagai penjuru, mengais rezeki dengan berdagang agar dapat menyambung hidup. Namun malang tak dapat dihindarkan ketika si jago merah melalap pasar itu pada 10 Mei 2015. Usaha yang dibesarkan selama bertahun-tahun, hangus menjadi abu dalam semalam saja. Hampir selama lebih dari tiga tahun pasar yang dirancang oleh Karsten ini berdiri dalam kesunyian panjang, bergumul dengan abu hitam yang bisu. Untungnya sejak tahun 2018, mulai diambil langkah serius untuk menyelamatkan dan menghidupkan kembali Pasar Johar. Mengingat bangunan cagar budaya seperti Pasar Johar tidak bisa sembarangan dipugar, maka proses penangannya berlangsung lama. Belum lagi dengan urusan pembiayaannya. Pasar Johar akhirnya berhasil melalui masa kelamnya. Pada awal tahun 2022, Pasar Johar kembali bangkit dari tidurnya. Kehidupan niaga kini kembali bangkit bergeliat meski secara perlahan.

Gedung Zuustermaatshappijen yang sekarang menjadi kantor DAOP IV Semarang.
Karya Karsten lain yang menujukan kemahirannya sebagai arsitek adalah kantor perusahaan Zustermaatschappijen yang dibangun tahun 1930. Zustermaatschappijen sendiri adalah perusahaan patungan antara beberapa perusahaan trem uap swasta seperti Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij, Semarang-Cheribon  Stoomtram Maatschappij, Serajoedaal Stoomtram Maatschappij, dan Oost-Java Stoomtram Maatschppij. Tidak seperti umumnya bangunan Belanda yang diletakan di jalan-jalan besar strategis, gedung yang saat ini menjadi kantor DAOP IV Semarang ini berada di tempat yang tidak terlalu strategis, sehingga dengan leluasa Karsten dapat menciptakan sebuah gedung dengan halaman yang luas di sisi-sisinya. Tampak luar gedung yang terletak di jalan M.H. Thamarin, Semarang ini begitu ringkas dan minim pernak-pernik. Gedung ini dikelilingi oleh tiang kotak yang terbuat dari beton. Tiang-tiang ini menopang atap emperan datar yang juga terbuat dari beton. Sementara bagian ris tiang-tiang ini ditutup dengan ubin dan teraso ( Sumalyo, 2002; 122 ).
Denah kantor yang dibuat Karsten.
Denah dasar gedung ini mirip dengan rumah tradisional orang Jawa, Joglo, dimana tiang-tiang yang tinggi menopang atap dua susun yang memungkinkan pertukaran udara dari lubang atap. Penghawaan di dalam ruang juga didukung dengan keberadaan ventilasi berbentuk lingkaran. Pada denah buatan Karsten yang dimuat pada Locale Techniek edisi Maret 1938, terlihat bahwa pengaturan denah gedung ini dilakukan secara cermat sehingga ukuran lantai dasar cocok dengan ubin. Bagian ruang tengah yang paling luas dan lebar diperuntukan bagi pegawai menengah dan di keempat sisinya terdapat kamar-kamar untuk pegawai yang lebih tinggi pangkatnya ( Karsten, 61; 1938 ).
Lorongdi bagian dalam.
Suasana kantor di masa kolonial ( sumber : Locale Techniek ).
Bersinggungan sekian lama dengan alam dan budaya Jawa membuat ia tertarik untuk memasukan unsur budaya Jawa dalam karyanya. Persinggungan ini mungkin bermula sejak ia menikah dengan perempuan Jawa bernama Soembinah Mangoenredjo pada 1921. Ketertarikannya pada budaya Jawa juga barangkali dipengaruhi oleh seniornya, Henri Maclaine Pont yang bersama dengan Karsten menjadi bidan kelahiran arsitektur Indo-Eropa. Bagi kedua arsitek itu, biarlah Jawa menjadi Jawa. Tak perlulah bangunan berlanggam Eropa ditaruh di alam yang masyarakatnya telah memiliki identitas kuat seperti Jawa. Berdua, mereka berusaha mendobrak pakem arsitek Belanda yang secara mentah membawa arsitektur modern ke Hindia-Belanda dengan membuat bangunan yang citarasa nusantaranya lebih kental seperti gedung ITB Bandung dan Gereja Pohsarang Kediri, gedung Sobokartti Semarang dan Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Namun gagasan itu ditentang oleh arsitek lain, C.P. Wolff Schoemaker (Handinoto, 2012; 89). Alhasil, timbul perdebatan yakni seperti apa sejatinya identitas arsitektur Hindia-Belanda itu ? Jawaban yang tentunya tak akan saya ulas pada tulisan ini karena itu sudah menjadi pokok bahasan lain.
Gedung Sobokartti.
Salah satu gagasan luhur Karsten memadukan unsur budaya Jawa dengan arsitektur modern dituangkan dalam wujud gedung pertunjukan Sobo Kartti. Gedung pertunjukan ini terbangun berkat peran dari Kuntsvereeniging atau perkumpulan seni Sobo Kartti. Perkumpulan tersebut mulai didirikan pada 9 Maret 1920 atas prakarsa Semarangsche Kunst-Vereeniging dan berbadan hukum pada 9 Desember 1920. Nama Sobo Kartti dipilih oleh KGPH Koesoemojoedo dari Kasunanan Surakarta. Ketua pertamanya adalah Mohammad Joesoef. Karsten sendiri juga adalah anggota Sobo Kartti dan sempat bertugas sebagai bendahara. Tujuan dari perkumpulan seni Sobo Kartti ialah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap keseniannya sendiri. Pada saat itu, beberapa kesenian, utamanya seni tari hanya eksklusif untuk dipelajari dan dipentaskan kalangan dalam keraton. Setelah dibentuknya perkumpulan ini, tarian yang semula hanya dapat dinikmati di dalam kungkungan tembok tebal keraton, kini dapat ditampilkan di hadapan khalayak umum. Semenjak berdiri, Volkskunstvereeniging Sobo Kartti menerima kucuran subsidi dari pemerintah Gementee Semarang sebanyak 3000 gulden setiap tahun untuk kegiatan perkumpulan. Namun karena deraan krisis ekonomi tahun 1930an, subsidi tersebut dipotong setengahnya.
Tampak luar gedung Sobokartti.
Bagian depan gedung Sobokartti.
Pintu masuk ke ruang pertunjukan.
Sebelum menempati gedung Sobo Kartti, kegiatan perkumpulan diadakan di sebuah bangunan yang beralamat di Dokter Djawa. Sekitar akhir tahun 1930, perkumpulan Sobokartti menugaskan Karsten dan J.H. Schisjma untuk merancang gedung pertunjukan baru untuk perkumpulan tersebut. Gedung pertunjukan tersebut akan menjadi gedung pertunjukan pertama yang dikhususkan untuk pentas kesenian Jawa (De Locomotief, 16 Desember 1930). Untuk mewujukan pendirian gedung tersebut, perkumpulan Sobo Kartti setidaknya membutuhkan dana sebesar 30.000 gulden dan masih belum termasuk untuk biaya pemasangan listrik, perabotan, dan pembelian tanah. Sebagian besar dana untuk pembangunan gedung berasal dari jatah sebagian keuntungan lotre dari pemerintah. Sumber lainnya berasal dari donator, pemasukan dari pentas, dan kontribusi tahunan anggota. Akhrinya terkumpulah dana sejumlah 30.500 gulden untuk pembangunan gedung. Sementara tanah lokasi gedung pertunjukan berdiri disediakan oleh pemerintah kota di Karrenweg (kini Jalan Dr. Cipto) dan perkumpulan membayar biaya sewa tanah tersebut kepada pemerintah kota dengan harga yang rendah. Kayu-kayunya sendiri dipasok dari Landbouw Departement atau Departemen Pertanian.
Barangkali karena pertunjukan kesenian Jawa idealnya juga dipentaskan di gedung bergaya Jawa, maka Karsten berpikir untuk mencoba membuat sebuah bangunan jenis pendopo yang dapat mewadahi fungsi sebagai gedung pertunjukan rakyat. Dari luar, bangunan itu nantinya akan terlihat seperti sebuah pendapa Joglo besar, namun bagian dalam bangunan itu akan dibuat dalam bentuk seperti sebuah gedung teater. Karsten berpandangan jika semua jenis pertunjukan, baik pertunjukan tradisional Jawa atau Barat agar dapat disaksikan penonton dengan baik, maka posisi duduk penonton harus dibuat nyaman dan dapat melihat ke satu arah panggung proscenium seperti gedung teater Eropa yang tempat duduknya semakin meninggi ke belakang.

Bagian dalam gedung Sobokartti.
Sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung, maka diadakanlah upacara peletakan batu pertama pada 15 Maret 1931 yang diikuti dengan penanaman dua pohon beringin di sebelah kanan dan kiri bangunan. Dua anak laki-laki meletakan batu pertama gedung Sobo Kartti bernama Amang Harjoso dan Moediono (De Locomotief, 12 Maret 1931). Setelah pembangunan hampir memasuki tahap akhir, perkumpulan Sobo Kartti mulai memindahkan kegiatannya ke gedung baru pada 18 September 1931. Proses pemindahan yang dipimpin oleh ketua Sobo Kartti saat itu, R. Slamet, mengikuti adat Jawa lama. Dimulai sekitar pukul 7 pagi, pengurus dan beberapa pemain berkumpul di gedung lama untuk secara simbolis menyampaikan salam perpisahan pada bangunan lama. Setelah itu, rombongan pindahan tersebut berjalan kaki dari gedung lama ke gedung baru. Setibanya di gedung baru, diadakanlah upacara slametan yang diikuti oleh Karsten, Schijfsma, dan pemborong Tionghoa Bang A Hoo. Gedung Sobo Kartti akhirnya diresmikan pada Sabtu malam, tanggal 10 Oktober 1931. Setidaknya ada 34 orang yang memberi sambutan dalam upacara peresmian tersebut. Saking banyaknya sambutan membuat acara pertunjukan tari yang ditunggu sedari awal akhirnya mundur dari jadwal (De Locomotief, 12 Oktober 1931).
Gedung Sobokartti yang terletak di Jalan Dokter Cipto ini memiliki ruang depan terbuka dengan atap berbentuk limasan. Ruang depan ini merupakan ruang tunggu sekaligus tempat penonton membeli tiket pertunjukan. Untuk masuk ke ruang utama, penonton melewati dua buah pintu bergaya paduraksa. Di ruang utama, terdapat sebuah panggung atau stage. Podium tempat duduk penonton dibuat pada tiga sisi dengan ukuran yang semakin meninggi ke belakang, sehingga pandangan penonton yang duduk di belakang tak terhalang oleh penonton di depan. Seperti halnya gedung Pasar Johar, Karsten melengkapi gedung Sobokartti dengan bukaan di bagian atap sebagai sumber pencahayaan dan udara alami. Di bagian belakang ruang utama, terdapat ruangan untuk persiapan pemain sebelum pentas.
Museum Sonobudoyo.
Usaha Karsten lain dalam memadupadankan arsitektur modern dengan arsiktetur vernakular tampak pula saat ia ditugasakan untuk merancang gedung Museum Sonobudoyo di Yogyakarta yang pendiriannya diprakarasi oleh Java Instituut. Lembaga tersebut dibentuk. di Surakarta pada 1919 oleh P.A.A.P Prangwadono (Pangeran Mangkunegara VII), R. Dr. Hoessein Djajadiningrat, dan Dr. F.D.K Bosch sehingga Java Instituut menjadi lembaga ilmiah pertama di Hindia-Belanda yang berisikan campuran intelektual orang pribumi dan Eropa. Tujuan utama dari Java Instiuut adalah memajukan dan mengembangkan kebudayaan lokal, khususnya kebudayaan Jawa yang mulai tergerus akibat penetrasi budaya barat pada masa kolonial. Apabila kebudayaan suatu bangsa telah punah, maka akan sukar dalam membangun kesadaran dan jatidiri sebuah bangsa yang utuh. Sebagai usaha untuk memajukan kebudayaan lokal, maka konggres Java Insituut yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Desember 1924 memutuskan untuk mendirikan sebuah museum sebagai pusat informasi mengenai seluruh aspek kebudayaan lokal. Sejatinya, di Yogyakarta sendiri sudah ada museum yang didirikan pada 1894 oleh perhimpunan arkeologi amatir Archaeologisch Vereeniging. Hingga tahun 1912, museum tersebut bertempat di dekat kediaman residen Yogyakarta yang memberikan sebagian pekarangan depannya untuk museum tersebut. Namun museum tersebut lebih pantas disebut sebagai tempat penampungan arca ketimbang sebagai museum. 
Museum Sonobudoyo sekitar tahun 1940.
Koleksi arca.
Meskipun niatan untuk membangun museum sudah muncul pada tahun 1924, namun niat tersebut tidak bisa diwujudkan saat itu juga karena keadaan keuangan Java Instituut sedang tidak memungkinkan untuk mendirikan bangunan museum. Barulah saat Java Instituut menggelar kongres di Surakarta pada Desember 1929, ada kepastian mengenai sumber pendanaan untuk pendirian museum. Dalam kongres tersebut, direktur kehakiman saat itu J.J. Schrieke sepakat membagi separo keuntungan lotere untuk kepentingan pembangunan museum. Selain itu empat raja di wilayah Vorstenlanden (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Pakualaman) juga bersedia menyumbangkan sebagian benda pusakanya untuk dipamerkan di museum. 
Denah museum sebelum perluasan tahun 1939.
Untuk lokasi museum, Java Insituut memilih bekas pos polisi di sebelah utara alun-alun utara Yogyakarta yang dulunya lagi adalah rumah juru sita (Schoutenwoning) yang dibangun pada tahun 1870an. Pertimbangan Java Instituut memilih tempat tersebut adalah karena museum yang diharapkan oleh Java Instituut tidak hanya sebagai tempat penyimpanan dan pemeliharaan koleksi artifak semata, namun juga sebagai sarana mengenalkan khazanah budaya Nusantara yang menyentuh seluruh kalangan. Alun-alun dalam tradisi Jawa dikenal sebagai pusat kehidupan masyarakat sehingga orang berduyun-duyun mendatanginya saat ada perayaan penting atau hari besar. Letaknya yang berdekatan dengan alun-alun itu akan membuat museum lebih mudah dijangkau oleh masyarakat.
Bagian dalam museum.
Pembangunan pendapa pagelaran.
Di antara sederet panitia pembangunan museum, terselip nama Th. Karsten. Gedung lama bekas kantor polisi itu dimodifikasi oleh Karsten menyesuaikan fungsi-fungsi museum dan selanjutnya elemen arsitektur Jawa dimasukan dalam gedung ini. Penggunaan pendapa di bagian depan meniru arsitektur rumah tradisional Jawa. Pagar kelilingnya menyerupai pagar keliling masjid kuno di Jawa sementara pintu gerbangnya mengadopsi bentuk padureksa yang dijumpai pada kompleks pemakaman raja di Kotagede. Pemilihan gaya arsitektur tradisional Jawa tersebut dimaksudkan tidak hanya untuk membuat bangunan tampak serasi dengan lingkungan keraton, namun juga untuk membuktikan bahwa arsitektur tradisional Jawa memiliki sifat yang luwes sehingga dapat diterapkan secara bijaksana untuk jenis bangunan yang belum dikenal dalam budaya Jawa seperti museum. Karsten berharap dari gaya yang dipilihnya itu, arsitektur tradisional Jawa dapat dikenal secara lebih luas mengingat seni arsitektur belum banyak mendapat perhatian di kalangan pecinta budaya Jawa dan orang-orang Jawa sendiri dapat menciptakan kreasi bangunan yang ilhamnya bersumber dari warisan leluhur mereka.
Prasasti peresmian Museum Snonobudoyo.
Peresmian Museum Sonobudoyo oleh Sultan Hamengkubuwono VIII.
Tender pembangunan museum dikerjakan oleh biro Sitsen & Louzada. Sementara itu, S. Koperberg menyusun rencana koleksi yang akan disajikan dan untuk itu ia melibatkan sejumlah ahli seperti R. Ajoe Soerjadiningrat untuk bagian kain batik dan W.F. Stutterheim untuk bagian kepurbakalaan. Setelah melalui berbagai tahap pembangunan dan penataan pameran, akhirnya museum tersebut tinggal menentukan hari baik untuk peresmian museum. Hari baik peresmian museum akhirnya jatuh hari Rabu Wage pada 6 November 1935. Secara kebetulan, hari tersebut sama dengan hari lahir Sultan Hamengkubuwono VIII. Sekitar empat ratus tamu diperkirakan akan menghadiru dalam upacara peresmian tersebut. Selain tamu dari wilayah Vorstenlanden, ada juga tamu yang datang jauh-jauh dari Bali mengingat meskipun menyandang nama Java Instituut, pada kenyataanya lembaga tersebut juga mempelajari kebudayaan Sunda, Madura, dan Bali. Pada peresmian tersebut terlihat juga sosok yang kelak menjadi Menteri pendidikan di awal kemerdekaan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Upacara peresmian yang dimulai pada pukul sembilan pagi itu diawali dengan sambutan pembukaan oleh ketua Java Instituut, R.A. Hoessein Djajadiningrat. Setelah sambutan dari berbagai pihak, museum yang diberi nama Sonobudoyo tersebut secara resmi dibuka oleh Sultan Hamengkubuwono VIII. Selama dua malam, digelar pentas pertunjukan di pendapa depan museum seperti tari topeng Bali yang dibawakan oleh raja Karangasem, I Gusti Bagus Jelantik.

Pendopo depan.
Bagian pringgitan.
Bagian dalam pendapa.
Pada hari-hari pertama Museum Sonobudoyo, kunjungan museum dibuka setiap hari dari jam delapan pagi hingga dua belas siang. Sore hari kecuali pada hari Minggu, kunjungan museum kembali dibuka pada jam empat sore hingga enam petang. Harga tiket yang dipatok sebesar 25 gulden untuk pengunjung non pribumi dan 5 gulden untuk pengunjung pribumi. Untuk pelajar yang didampingi oleh guru, harga tiketnya sebesar 5 sen untuk pelajar non pribumi dan 2,5 sen untuk pelajar pribumi. Anggota Java Instituut digratiskan masuk ke dalam museum asalkan dapat menunjukan bukti kontribusi keanggotaan terbaru. 

Gerbang bergaya Padurakasa. Dibuat seperti gapura makam-makam raja Jawa.
Bagian kantor pengelola Museum.
Tampak luar museum yang digunakan untuk tempat memajang arca.
Bagian terdepan dari Museum Sonobudoyo adalah pendapa beratap limasan. Bagian ini dahulu berfungsi sebagai ruang upacara resmi dan pertunjukan wayang. Di belakang pendapa, ada ruang yang disebut dalem yang menyimpan ranjang tidur tinggalan Sultan Hamengkubuwono I yang disumbangkan kepada museum oleh Sultan Hamengkubuwono VIII. Selanjutnya pengunjung dapat memasuki sejumlah galeri seperti galeri wayang yang memamerkan aneka jenis wayang, galeri perahu yang memajang miniature perahu dari berbagai penjuru Nusantara, dan galeri Bali yang berisi barang seni khas Bali. Sehubungan dengan terbatasnya ruang saat itu, maka tidak semua koleksi museum dapat disimpan di dalam. Contohnya adalah arca-arca kuna yang akhirnya diletakan di luar pendapa. (Het Vaderland 21 November 1935).
Pendopo Pagelaran.
Paviliun Bali.
Karena koleksi terus bertambah, maka Museum Sonobudoyo akhirnya diperluas pada tahun 1940. Perluasan museum salah satunya adalah dengan menambah paviliun Bali yang gapura bentarnya dibuat oleh pengrajin yang didatangkan dari Bali. Selain memperbesar museum, Java Instituut juga membuka sekolah kerajinan Kunstambachtschool yang diharapkan dapat menghasilkan seniman-seniman tradisional. Peresmian museum baru dan sekola tersebut diadakan pada Februari 1941 (Bataviaasch Nieuwsblad 1 Maret 1941). Saat terjadi Agresi Militer Belanda Kedua, bangunan museum mengalami kerusakan akibat ledakan bom yang dijatuhkan pesawat Belanda. Situasi politik yang saat itu tidak menentu mengancam keberlangsungan museum apalagi ada desas-desus jika museum akan dijarah oleh massa (Het Nieuwsblad voor Sumatra 4 Januari 1949). Hingga hari ini masih sintas sebagai tempat menyimpan dan memamerkan beragam koleksi benda budaya seperti keris, kain batik, gamelan, patung kayu, topeng dan arca-arca batu. Sejak tahun 2002, Museum Sonobudoyo dikelola oleh Dinas Kebudayaan Provinsi D.I. Yogyakarta.
Ranjang tinggalan Sultan Hamengkubuwono I yang disumbangkan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII.
Hiasan pintu ke ruang Bali.
Bagian dalam museum.
Begitulah uraian sebagian karya dari sang arsitek humanis Thomas Karsten yang masih bisa disaksikan sampai sekarang. Karya-karya yang dibuat oleh Karsten seolah menunjukan bahwa ia berusaha untuk meletakan arsitektur nusantara sebagai unsur dasar, sementara bentuk dan teknologi konstruksi barat hanya pelengkap saja. Sang maestro memang sudah lama tiada, namun namanya tak akan pernah terhapus dari sejarah seni bangun di Indonesia dan karyanya akan menjadi ilham untuk anak bangsa dalam penarian jatidiri kebudayaan mereka.

Referensi
Brommer dkk. 1995. Semarang, Beeld van een Stad. Purmerend : Asia Maior.

Bruggen dkk. 1995. Djoca Solo, Beeld van Vorstenlanden. Pumerend : Asia Maiaor.

Handinoto. 2010. Arsitektur dan kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Karsten, Thomas. 1938. 'Twee Semarangse Kantoorgebouwen' dalam Locale Techniek edisi Maret 1938.

Karsten, Thomas. 1938. 'Iets Over De Centraale Pasar' dalam Locale Techniek edisi Maret 1938.

Liem Thian Joe. 1931. Riwajat Semarang. Batavia : Drukkerij Boekhandel.

Sumalyo, Yulianto. 2002. 'Usaha Penyatuan : Arsitek Belanda di Hindia' dalam Indonesian Heritage : Arsitektur. Jakarta : Widyadara.

Algemeene Handeslblad 1 Juli 1932

Bataviaasch Nieuwsblad 1 Maret 1941

De Locomotief 20 Juni 1932