Jumat, 28 Juli 2017

Stasiun Tanggung, Stasiun Kecil Monumen Sejarah Kereta Api di Indonesia

Stasiun kayu itu memang tidak begitu monumental ukurannya. Dari segi estetik juga tidak indah amat. Namun stasiun itu begitu istimewa dalam sejarah perkereta-apian negeri ini. Ya, seperti itulah Stasiun Tanggung, sebuah stasiun kecil yang terletak di Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah.
Peron stasiun Tanggung. Terlihat hamparan lantai tegel yang masih asli.
Ketika sampai di Stasiun Tanggung, saya nyaris tidak percaya bahwa stasiun dari kayu itu masih kokoh berdiri menantang zaman. Untuk bangunan sejenis, di Jawahanya ada empat buah saja yang masih berdiri. Pertama adalah Stasiun Tanggung ini, berikutnya adalah Stasiun Maguwo Lama, Stasiun Gresik, dan Stasiun Mayong yang sudah berpindah dari tempat asalnya di Jepara, ke sebuah resort di Magelang. Nasib Stasiun Tanggung sendiri nyaris seperti Stasiun Mayong. Pada 1980, Stasiun Tanggung rencananya akan diboyong ke TMII. Namun rencana tadi akhirnya dibatalkan. Kini Stasiun Tanggung menjadi satu-satunya stasiun kayu yang masih dipakai.
Beberapa contoh bangunan stasiun dari kayu yang ada di Jawa. Kiri atas merupakan bangunan Stasiun Gresik ( sumber foto : flickr.com ), kanan atas ialah bangunan Stasiun Mayong, Jepara yang kini dipindah di sebuah resort di Magelang ( sumber foto : jejakbocahilang.wordpress.com ), kanan bawah Stasiun Tanggun, dan kiri bawah adalah Stasiun Maguwo Lama. Dari keempat stasiun tersebut, hanya Tanggung saja yang masih aktif.
Dengan konstruksi kayunya yang masih belum berubah, bangunan Stasiun Tanggung adalah mesin waktu yang mengantarkan saya pada perjalanan panjang transportasi kereta. Saya pun sejenak merenungkan sejarah kereta api yang terbentang panjang seperti sebuah rel lurus.

Entah benar atau tidak, kehadiran kereta api di Pulau Jawa telah diramalkan jauh hari sebelum penjajah Eropa menginjakan kakinya ke Nusantara. Maharaja Jayabhaya, raja kerajaan Kediri yang memerintah pada abad ke 12 dipercaya membuat sebuah nubuat yang menggambarkan kondisi Pulau Jawa di masa depan. Salah satu nubuat tersebut berbunyi “Kelak akan ada kereta yang berjalan tanpa kuda dan Pulau Jawa akan berkalung baja”. Tentu nubuat tersebut sulit dipahami oleh orang pada masa itu. Bagaimana bisa ada sebuah kereta yang bisa berjalan tanpa kuda dan yang lebih mengherankan, bagaimana membuat Pulau Jawa berkalung baja ? Sebuah jawaban yang akan terjawab tujuh abad kemudian.
Monumen peringatan di depan Stasiun Tanggung.
Abad 19 di Eropa sana merupakan masa munculnya penemuan-penemuan cemerlang mahakarya dari Revolusi Industri. Salah satunya adalah lokomotif uap yang ditemukan oleh George Stephenson pada 1829. Mesin baru tersebut dapat menarik beban lebih banyak dan sedikit lebih cepat ketimbang kuda (Burschell, 1984;14). Dua dasawarsa sejak keberhasilan Stephenson, jalur kereta api mulai mengular di seantero Eropa termasuk wilayah koloni mereka.
Foto Stasiun Tanggung ketika baru saja dibuka pada tahun 1867. Wilayah sekitar stasiun masih terlihat seperti sebuah frontier. Foto ini diambil oleh agensi foto Woodbury & Page, co ( Sumber : media-kitlv.nl ).
Era sebelum kereta api dibangun adalah era yang menyiksa bagi orang-orang Belanda yang hendak pergi menuju ke pedalaman. Saat itu satu-satunya sarana jalan yang masih bagus hanyalah jalan bikinan Daendels yang dibangun di sepanjang pantai utara. Sementara itu, moda angkutan yang ada juga masih terbatas. Pemerintah kolonial yang hendak mengangkut komdoditas hasil tanam paksa dari perkebunan ke pelabuhan hanya memiliki dua pilihan, antara pedati atau kuli angkut, dimana keduanya sama-sama lamban dan daya angkut sedikit. Hasil-hasil perkebunan akhirnya sudah berkurang mutunya ketika sampai di pelabuhan. Berangkat dari permasalahan tersebut, pada 1840 tercetus sebuah gagasan  dari Kolonel Jhr. Van der Wijk untuk membuat jalur kereta di Jawa. Gagasan Van der Wijk tadi segera menjadi topik perdebatan yang menghangat di Parlemen Belanda. Setelah tenggelam sekian lama, gagasan tadi mencuat kembali ketika semakin banyak perkebunan yang dibuka di Jawa apalagi setelah melihat kesuksesan Inggris membuat jalur kereta di India pada tahun 1853. Sebagai langkah awal, sebuah studi banding dilakukan oleh Stieljtes. Ia mengusulkan agar jalur kereta dibuat dari Semarang dengan tujuan Salatiga lewat Ungaran. Alasan Stiejtes adalah karena di Salatiga terdapat garnisun militer dan populasi orang Eropa cukup banyak. Berbeda dengan usul Stieljtes, sebuah konsorium yang dibentuk oleh Poolman, Fraser, dan Kol justru mengusulkan agar jalur kereta dibuat dari Semarang dengan tujuan Yogyakarta lewat Solo. Pertimbangan mereka adalah jalur yang diusulkan oleh Stieljtes akan makan banyak biaya dalam proses pembuatannya. Selain itu, wilayah Vorstenlanden yang mencakup Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta merupakan wilayah penghasil tanaman ekspor yang memperkaya kas pemerintah kolonial. Setelah melobi pemerintah, konsorium milik Poolman cs akhirnya diberi konsensi membangun jalur kereta dari Semarang- Vorstenlanden. Konsorium tersebut kelak menjadi Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, perusahaan kereta pertama di Hindia-Belanda ( Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997; 48-53 ).
Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele ( 1806-1890 ), Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang meresmikan pembangunan jalur kereta api di Hindia-Belanda.
Gempita upacara peresmian menjadi awal dari pembangunan kereta seperti yang diungkap oleh Liem dalam buku Riwajat Semarang. Dapat dimaklumi karena jalur itu akan memberi manfaat luar biasa bagi kolonial Belanda. Sehari sebelum perayaan, Gubernur Jenderal Mr. Baron Slur (Sloet) van de Beele telah tiba di Semarang diiringi dengan para pembesar dan serdadu. Saat hari upacara tiba tiba, di sepanjang jalan dari kediaman Residen hingga lokasi pencangkulan pertama di Tambaksari, masyarakat tumpah ruang memadati jalan. Sesuai dengan adat kolonial, mereka harus berjongkok ketika Gubernur Jenderal lewat. Trap-trap yang dihias indah menyambut sang gubernur ketika tiba di lokasi pencangkulan yang disambut begitu antusias oleh masyarakat. Maklum saja karena lawatan seorang Gubernur Jenderal merupakan hal yang jarang terjadi pada waktu itu. Pada 17 Juni 1864, dengan diiringi musik militer dan gamelan, Gubernur Jenderal melakukan upacara menyerok tanah sebagai tanda diawalinya pembangunan jalur kereta Semarang-Vorstenlanden. Serokan pertama itu sekaligus menjadi langkah pertama sejarah transportasi kereta di Nusantara ( Liem Thian Joe, 1931; 162 ).
Stasiun Samarang, stasiun pertama di Indonesia yang berdiri tahun 1867. Foto diambil sekitar tahun 1905. ( sumber : media-kitlv.nl ).
Selama pembangunan, tersiar selentingan yang menyebutkan bahwa banyak penculik anak kecil yang keluar masuk perkampungan. Anak kecil ini nantinya akan dijadikan sebagai tumbal pembangunan jembatan mengingat takhayul masyakat pada waktu itu bahwa setiap pembangunan jembatan memperlukan sesajen agar selamat. Selentingan tersebut menyebar begitu cepat bagai kabar hoax pada masa sekarang. Masyarkatpun gempar mendengar selentingan tersebut. Orang-orang tua mengawasi anaknya lebih ketat. Setiap menjelang senja, anak-anak harus kembali ke rumahnya masing-masing. Setelah pembangunan jalur kereta yang selesai pada tanggal 10 Agustus 1867, masih muncul selentingan aneh lagi. Di tengah masyarakat yang masih dililit oleh takhayul, kereta api dianggap barang yang ajaib sekaligus mengerikan. Mereka percaya bahwa kereta api dijalankan dengan kekuatan setan karena dapat bergerak sendiri tanpa perlu ditarik kuda. Oleh sebab itulah pada awalnya banyak orang pribumi dan Tionghoa yang tidak berani naik kereta api lantaran percaya jika mereka naik kereta api, mereka akan dimakan oleh setan penunggu kereta. Sungguhpun demikian, kereta api perlahan mulai diterima oleh banyak orang (Liem Thian Joe, 1931; 163).

Di samping stasiun, terletak tugu peringatan dengan roda kereta bersayap yang berdiri di puncak tugu. Kalimat “Di Bumi inilah kita bermula” tertulis pada tubuh tugu itu. Tugu itu seharusnya didirikan di eks Stasiun Samarang di Kemijen, Semarang yang menjadi stasiun kereta api pertama di Indonesia. Namun sayangnya jejak stasiun tersebut sudah sulit dilacak. Menurut rencana, pembangunan jalur kereta masih akan dilanjutkan sampai Vorstenlanden. Namun rencana tersebut terganjal kesulitan finansial akibat biaya pembangunan yang ternyata melonjak dari perkiraan  awal sehingga pembangunan jalur kereta masih tanggung sampai di stasiun Tanggung. Bahkan tahun 1868, proyek ambisius tersebut terancam gagal. Sesudah mendapat kucuran dana dari pemerintah dan pengusaha, akhirnya pembangunan jalur kereta dapat diteruskan sampai wilayah  Vorstenlanden pada 1870. Tersambungnya Vorstenlanden dengan Semarang berdampak positif. Hasil-hasil perkebunan dapat diangkut dengan mudah dan cepat sampai pelabuhan. Sebagai operator, N.I.S.M menangguk banyak untung. Kesuksesan jalur kereta Semarang-Vorstenlanden mengilhami dibangunnya jalur kereta api di tempat lain oleh pemerintah atau swasta. Walau pemerintah kolonial di Jawa membantu pembangunan jaringan kereta, tetapi porsi terbesar digarap oleh perusahaan-perusahaan swasta. Dalam beberapa puluh tahun saja, hampir seluruh Pulau Jawa dibangun jalur rel yang saling menyambung satu sama lain tanpa putus, seolah Pulau Jawa berkalung besi.
Kesederhanaan ruang tunggu Stasiun Tanggung.
Agensi fotografi Woodbury & Page co pernah mengambil gambar Stasiun Tanggung ketika stasiun itu belum lama dibuka. Di foto itu terlihat wilayah sekitar stasiun yang kosong melompong. Memang saat itu Tanggung dapat disebut sebagai area frontier yang nyaris tak tersentuh oleh peradaban. Menariknya, bentuk bangunan stasiun yang tampak pada foto tersebut berbeda dengan bentuk yang sekarang terlihat. Usut punya usut ternyata Stasiun Tanggung dirombak sendiri oleh N.I.S.M pada awal abad ke 20. Gaya arsitektur Swiss Chalet menjadi pilihan untuk bangunan staisun yang baru. Kala itu, gaya Swiss Chalet lazim dipakai pada bangunan lumbung, kandang, atau rumah tinggal di Swiss. Dengan banyaknya turis yang bertamasya menikmati hawa sejuk Alpen di Swiss, maka pada abad ke-18, arsitektur Swiss Chalet menyebar ke Eropa, utamanya di Jerman dan Belanda. Sederhana namun cantik adalah kesan yang didapatkan dari gaya Swiss Chalet ( Davies dan Jokkinemi, 2008; 373 ). Maka, jadilah gaya arsitektur dari pegunungan Alpen yang sejuk, dipakai pada Stasiun Tanggung di dataran rendah yang cenderung panas.
Dinding sisi barat Stasiun Tanggung. Stasiun Tanggung merupakan stasiun bergaya Swiss-Chalet.
Stasiun Tanggung didampingi oleh sebuah rumah tua kecil yang juga terbuat dari kayu. Berbeda dengan kebanyakan rumah peninggalan kolonial yang pada umumnya menyatu dengan tanah, rumah tersebut dibuat seperti rumah panggung. Sebab rumah itu dibuat demikian karena wilayah Tanggung kerap diterjang banjir. Di masa lampau, rumah tersebut dihuni oleh kepala Stasiun Tanggung.
Rumah dinas Stasiun Tanggung.
Sekian kisah dari Stasiun Tanggung, sebuah stasun sederhana yang menyimpan cerita sejarah besar, utamanya sejarah kereta api. Kehadiran kolonial Belanda di negeri ini memang membawa kenangan pahit, namun setidaknya ada hadiah berharga yang diberikan darinya, yakni kereta api. Berkat kereta api, kota-kota di Jawa tersambung satu persatu. Tidak terbayangkan jika seandainya kereta api tidak pernah dibangun di Jawa, mungkin selamanya Jawa akan terbelakang seperti pulau-pulau lain yang belum memiliki jalur kereta. Semoga stasiun kecil ini tetap lestari…

Referensi
Burschell, S.C. 1984.  Abad Kemajuan. Jakarta : Penerbit Tira Pustaka

Davies, Nikolas dan Erkki Jokiniemi. 2008. Dictionary of Architecture and Building Construction. Oxford : Architectural Press.

Liem Thian Joe, 1931, Riwajat Semarang. Batavia : Boekhandel Drukkerij.

Tim Penyusun. 2015. Stasiun Kereta Api , Tapak Bisnis dan Militer Belanda. Klaten ; Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Tim Telaga Bakti Nusantara. 1997. Sejarah Perkereta-apian Indonesia Jilid I. Bandung ; Penerbit Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar