Rabu, 18 April 2018

Benteng Pendem Cilacap, Benteng Terkuat di Hindia-Belanda

Sebuah kapal besar melintas di atas gelombang laut Cilacap, satu-satunya pelabuhan di pantai selatan Jawa. Di sanalah ia hendak bersauh sebentar sebelum kembali berlayar ke bandar lain. Di ujung selatan kota bandar itu, terdapat sebuah benteng kuno peninggalan Belanda yang dengan tenang menyaksikan pergantian hari demi hari. Di masa kolonial, ia menyambut kapal-kapal yang hendak bertandang di Cilacap, di masa Perang Dunia Kedua, ia tak bisa berbuat apa-apa ketika bom-bom pesawat Jepang menghujam Cilacap, hari ini, ia menjadi salah satu daya tarik wisata di Cilacap. Benteng itu kini dikenal dengan nama Benteng Pendem Cilacap…
Gambar rancang Benteng Pendem Cilacap yang dibuat tahun 1874
(Sumber : nationaalarchief.nl)
Membicarakan sejarah Benteng Pendem Cilacap tidak akan lepas dari mulai pentingnya Cilacap sebagai pelabuhan sejak zaman kolonial. Secara geografis, Cilacap dibatasi oleh laut lepas Samudera Hindia di sisi timur dan di sebelah barat terdapat muara Sungai Donan yang lebar. Sementara di seberang selatannya terdapat Pulau Nusakambangan yang meredam gelombang besar Samudera Hindia sehingga menawarkan tempat berlabuh yang aman. Perairannya cukup dalam sehingga kapal dengan sarat air 7 meter dapat memasukinya. Dengan keunggulan tersebut, Cilacap menjadi pelabuhan alami terbaik di seluruh Pulau Jawa. Sayangnya Cilacap berada di luar jalur perniagan karena kebanyakan kapal memilih berlayar lewat laut utara Jawa yang perairannya relatif lebih tenang dibandingkan laut selatan Jawa (Departement of Public Work. 1920 : 33). Dalam kurun waktu yang cukup panjang, Cilacap menjadi daerah pinggiran yang karena tidak memiliki nilai strategis.
Peta Cilacap pada tahun 1800an. Letak Benteng Pendem Cilacap ditandai dalam huruf "a"
(sumber : nationaalarchief.nl)
Setelah Perang Jawa usai, wilayah Bagelen dan Banyumas berada dalam kendali langsung pemerintah kolonial. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan tanam paksa yang mengharuskan penduduk untuk menanam tanaman yang sudah ditentukan. Bagelen dan Banyumas keduanya jauh dari pelabuhan dagang yang ada di pesisir utara sehingga ada hambatan untuk menyalurkan hasil bumi seperti gula, minyak kelapa, tapioka, dan kopra keluar negeri. Satu-satunya tempat yang memungkinkan di pesisir selatan sebagai pelabuhan adalah Cilacap dan akhirnya Belanda melirik Cilacap meskipun belum ada upaya serius untuk mempersiapkannya. Setelah perlawanan dari dalam Pulau Jawa dapat diredam paska Perang Jawa, pemerintah Hindia-Belanda mulai memperhitungkan ancaman serangan dari luar negeri karena tidak menutup kemungkinan adanya serangan dari bangsa asing lain seperti yang terjadi pada invasi Inggris ke Jawa tahun 1811. Kolonel Van der Wijck kemudian menerima tugas untuk menyusun strategi pertahanan Pulau Jawa. Salah satunya dengan memperkuat titik-titik yang sekiranya rawan diserang dari luar dengan benteng-benteng baru seperti Fort Prins Frederik di Batavia, Fort Prins Oranje di Semarang, dan Fort Prins Hendrik di Surabaya. Belakangan Van der Wijck turut menyadari pentingnya sebuah pelabuhan darurat untuk jalur keluar terakhir yang akan menjadi pengubung antara Jawa dengan dunia luar seandainya pantai utara Jawa sudah ditaklukan musuh. Awalnya, pelabuhan Merak di Banten dipilih untuk menjalankan peran tersebut. Namun dengan pengamatan lebih matang, Van der Wicjk menyadari jika Cilacap lebih sesuai sebagai pelabuhan darurat karena jika perairan Cilacap dibiarkan terbuka, maka musuh akan memanfaatkan Cilacap sebagai tempat pendaratan pasukan karena Cilacap yang dilindungi oleh Pulau Nusakambangan dan berada di mulut Sungai Donan yang lebar dan tenang sangat ideal untuk tempat pendaratan (Kielstra, 1879: 26). 

Blockhouse, tempat tentara dapat menembakan senanpannya dengan aman.
Pada tahun 1844, militer Belanda mengundang ahli strategi Mayjend. F. B. Von Gagern untuk meninjau pertahanan pulau Jawa yang sudah dibuat. Kedatangan Von Gagern semakin memperkuat keyakinan jika Cilacap perlu memiliki benteng. Menurut Von Gagern, satu-satunya tempat di pantai selatan Jawa yang memungkinkan untuk pendaratan musuh hanyalah Cilacap karena letaknya berada di garis belakang. Seluruh rangkaian pertahanan Pulau Jawa yang sudah dibuat akan berakhir sia-sia karena musuh justru akan melancarkan serangan dari garis belakang yang tidak terjaga dengan baik. Selain itu, kondisi perairan sekitar Cilacap tidak memungkinkan untuk dilakukan penghadangan sehingga Cilacap dapat digunakan sebagai pelabuhan pelarian dan penghubung komunikasi antara Jawa dengan dunia luar. Von Gagern juga melihat potensi Cilacap untuk dijadikan sebagai pelabuhan armada angkatan laut Belanda karena pelabuhan Batavia dan Surabaya sudah mulai mengalami pendangkalan dan pada saat yang sama Belanda juga belum menyiapkan pelabuhan baru yang lebih dalam. Begitu berartinya Cilacap dalam strategi militer Belanda sehingga pemerintah kolonial bertekad untuk mempertahankan pintu belakangnya yang penting ini. Menuruti himbauan Von Gagern, maka Belanda terlebih dahulu menyiapkan sarana pertahanan di gerbang masuk Cilacap antara tahun 1846 dan 1852 sebelum infrastruktur pelabuhan dibangun (Kielstra 1879: 34).
Pintu masuk benteng. Benteng Pendem dahulu dilengkapi dengan jembatan angkat.

Awalnya kapal-kapal musuh diperkirakan akan datang dari dua arah, yakni lewat Segara Anakan atau menyusuri perairan di selatan Pulau Nusakambangan. Pada perkembangan berikutnya, perairan Segara Anakan rupanya memiliki endapan lumpur yang besar sehingga musuh diperkirakan akan menghindari jalur dari barat. Belanda akhirnya lebih condong untuk menempatkan benteng di sisi timur Cilacap. Dua benteng untuk pos pengamatan dibangun di Nusakambangan; Karangbolong dan Banyunyapa. Jika armada musuh terdeteksi mendekati perairan, pasukan yang berjaga di benteng tersebut dapat memperingatkan pasukan di Cilacap untuk segera bersiaga. Armada musuh yang berusaha memasuki Cilacap akan dihadang dengan tembakan meriam yang berada di kedua benteng tersebut. Dua benteng di Nusakambangan tersebut juga memiliki peran untuk mencegah musuh yang dapat memanfaatkan pantai Nusakambangan yang ada di seberang Cilacap sebagai tempat melancarkan tembakan meriam (Van Brakell, 1863 : 271-275). Meriam-meriam saat itu sudah memiliki daya jangkau tembakan hingga 3 kilometer sementara jarak terjauh antara pantai Cilacap dengan Pantai Nusakambangan hanya 2,5 kilometer. 

Gambar potongan Benteng Pendem. Terlihat sebagian struktur dipendam di dalam tanah.

Parit dan dinding Benteng Pendem. Di bagian dinding tampak celah yang dipakai sebagai lubang  tembak.

Jika armada musuh berhasil menerobos tembakan meriam dari dua benteng di Nusakambangan, armada musuh akan berhadapan dengan baterai artileri pantai yang ditempatkan di ujung selatan Cilacap. Baterai artileri adalah kumpulan banyak satuan meriam yang disatukan menjadi satu unit untuk mempermudah komando. Baterai artileri pantai yang ditempatkan di ujung selatan Cilacap tersebut terancam lebih mudah direbut jika tidak dilindungi dan artileri yang sudah direbut dapat digunakan oleh musuh untuk menyerang. Oleh karena itu “Kustbaterij op de Landtong” atau “Baterai Pantai di Tanjung”, nama asli dari Benteng Pendem Cilacap. Tidak seperti benteng-benteng lain di Jawa yang dinamakan secara resmi menurut tokoh kerajaan atau militer Belanda, benteng-benteng di Cilacap tidak mengalami perlakuan serupa. Rencana pembangunan Benteng Pendem Cilacap sejatinya sudah dipersiapkan pada tahun 1848 namun karena biaya pembangunannya yang mahal maka pembangunannya tertunda dan berjalan lambat. Benteng tersebut baru selesai dibangun sekitar tahun 1878 (Veth, 1882 : 415). 


Parit pelindung benteng
Benteng Pendem Cilacap adalah puncak teknologi pertahanan yang pernah dibangun Belanda di Indonesia. Sebagai sebuah baterai pantai, moncong-moncong meriam benteng diarahkan ke laut dan dengan meriam berkaliber 25 cm, benteng ini siap meladeni musuh yang hendak mencoba mendarat di Cilacap. Satu meriam pantai setara kekuatannya dengan tiga meriam kapal perang. Kuatnya pertahanan ini tentu bertalian dengan pentingnya Cilacap sebagai satu-satunya penghubung Pulau jawa dengan dunia luar jika suatu saat terjadi hal buruk di Jawa. Benteng Pendem Cilacap dirancang sedemikian rupa untuk membendung gempuran meriam karena armada musuh pasti akan menghancurkan baterai pantai terlebih dahulu sebelum mendaratkan pasukan dengan aman. Letak Benteng Pendem menjadi keuntungan bagi pihak bertahan karena ketiga sisinya merupakan laut dan tidak dapat dijangkau kapal besar karena perairannya dangkal. Pertahanan Benteng Pendem diutamakan pada sisi darat di sebelah utara dan dijaga oleh 1000 personel (Van Brakell, 1863: 273).
Barak prajurit yang dibangun tahun 1871.
Di kala Benteng Pendem Cilacap masih utuh, benteng ini tampak memiliki bentuk segilima apabila dipandang dari udara. Sisi utara benteng ini sekarang disisihkan untuk menjadi area tangki minyak Pertamina. Bagian tengah Benteng Pendem Cilacap merupakan lapangan terbuka dan dikelilingi oleh ruang-ruang yang meliputi ruang penjara, ruang akomodasi, gudang senjata, gudang amunisi, dan klinik. Saat pembangunan Benteng Pendem, teknologi artileri terbaru bernama explosive shells sedang dikembangkan. Explosive shells adalah semacam proyektil meriam yang meledak begitu proyektil mengenai target sehingga dinding bata tebal langsung roboh akibat ledakan. Sebagai tanggapan dari teknologi explosive shells, para insinyur zeni menyempurnakan benteng pertahanan dengan menutupi ruang-ruang benteng dengan gundukan tanah tebal yang lebih efektik meredam tembakan explosive shells. Parit diperdalam dan sisi-sisinya tidak lagi landai tapi tegak lurus. Benteng Pendem diperkuat lagi dengan blockhouse atau rumah tembak prajurit.  
Lapangan di tengah benteng.

Untuk kebutuhan air, benteng pendem dilengkapi sumur yang berada di dalam tembok benteng, sehingga kebutuhan air bersih tetap ada walau benteng pendem dikepung.
Benteng Pendem Cilacap diperkuat oleh 1000 personel serdadu yang dibekali dengan senapan standar infanteri buatan Belgia-Belanda karya Edouard de Beaumont tahun 1871. Para prajurit benteng tinggal di barak berupa 14 kamar tidur yang berderet memanjang. Pada salah satu kamar, tertoreh sengkalan “1871”, tahun barak itu dibangun. Para prajurit KNIL yang dulu bermarkas di sini mendapat fasilitas yang berbeda. Untuk prajurit Eropa, mereka mendapat selimut katun tebal. Sementara prajurit bumiputra diberi sarung yang diberi cap khusus agar tidak tertukar (Rocher dan Santosa, 2016;14). Agar tidak terjadi pemberontakan dari tentara bumiputra, kamar kompi serdadu Eropa dibuat terpisah namun dalam jarak yang dekat.  
Ruang akomodasi perwira.
Menara pengintaian.
Ruang penjara.
Gudang amunisi.
Ruang klinik.
Setelah Cilacap terhubung dengan jalur kereta pada tahun 1888, adanya kereta api memungkinkan tentara beserta artileri dapat dibawa dari tempat lain dalam waktu yang singkat sehingga tidak diperlukan lagi kedudukan permanen di Cilacap. Benteng Pendem Cilacap diakui bukan tempat yang sehat karena letak benteng yang berada di pesisir yang lembab menjadi kerajaan nyamuk-nyamuk Anopheles. Wabah malaria akhirnya merebak dan menjangkiti prajurit di dalam benteng. “Bukankah lebih baik kita menjadikan wabah tersebut sebagai sekutu kita ? Lebih baik biarkan benteng tersebut jatuh ke tangan musuh dan biarkan mereka tinggal di sana selama mungkin”, demikian tulisan dalam De Locomotief 18 Desember 1884. Siapa sangka jika pada akhirnya benteng tersebut ditaklukan bukan oleh armada musuh berkekuatan besar melainkan oleh serangga kecil bernama nyamuk. Militer Belanda lantas mengosongkan benteng maut tersebut dan memindahkan para tentara ke garnisun lain yang lebih sehat. 
Bekas tempat meriam.
Ilustrasi bentuk meriam yang dahulu dipakai di Benteng Pendem Cilacap. Meriam yang dipakai adalah jenis fixed gun yang berat untuk dipakai dalam pertempuran mobile namun memiliki daya hantam yang kuat dan jarak tembak yang lebih jauh.
 (sumber : Osprey's American Civil War Fort ).
Pada tahun 1892, militer Belanda mengeluarkan strategi pertahanan terbaru dengan meningkatkan kekuatan dan mobilitas tentara dan armada angkatan laut. Bangunan benteng tidak lagi menjadi tumpuan utama pertahanan karena biaya pemeliharaan dan pembangunannya sangat tinggi. Militer Belanda lebih mengutamakan untuk mengembangkan garnisun dan pangkalan angkatan laut (Mantel, 1930: 9). Meskipun demikian Cilacap masih memiliki kedudukan yang penting sebagai pangkalan angkatan laut di Jawa Tengah karena pelabuhan Cilacap lebih terlindung sehingga kapal dapat bersandar lebih aman dibandingkan Semarang yang terlalu terbuka dan ditambah Cilacap juga memiliki jalur kereta yang tersambung dengan jalur kereta Staatspoorwegen yang sudah menghubungkan Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga untuk memastikan hubungan perkeretapian tidak terganggu maka Cilacap tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Kendati tidak menjadi pangkalan armada yang utama, Cilacap tetap menjadi pangkalan armada yang berharga. Oleh karena itu, sarana pertahanan yang sudah ada di Cilacap seperti Benteng Pendem diperbarui pada tahun 1913 dengan teknologi pertahanan mutakhir berupa meriam turret yang dilindungi oleh beton yang lebih kuat ketimbang bata (Van Gijn, 1913: 76-77).
Bekas tempat meriam yang ditambahkan pada tahun 1913.
Saat terjadi Perang Dunia Kedua, Cilacap menjadi pangkalan armada yang sangat penting letaknya berada di pantai selatan yang jauh dari jangkauan armada Jepang dan Cilacap dilengkapi sarana pengisian bahan bakar minyak dan batubara. Pada Desember 1941, Belanda memindahkan sarana galangan kering mengapung ke Cilacap. Sejumlah kapal perang Sekutu singgah di Cilacap untuk mengisi bahan bakar dan memperbaiki kapal yang rusak. Benteng Pendem sempat berjumpa dengan kapal perang berbendera Amerika Serikat, USS Langley, kapal induk pertama yang dioperasikan oleh Amerika Serikat. Perjumpaan tersebut adalah perjumpaan terakhir karena kapal tersebut tenggelam di laut selatan Cilacap pada 27 Februari 1942. Perang semakin sengit sehingga Batalion Pantai dan Pertahanan Udara 6 di bawah komando brigade Cilacap ditempatkan di Benteng Pendem untuk mempertahankan Cilacap. Militer Belanda yang bergabung dengan Sekutu saat itu sudah begitu lemah. Cilacap yang digadang-gadang sebagai pelabuhan darurat tidak pernah menerima bala bantuan dari luar karena negeri Belanda sudah dikuasai Jerman. Cilacap akhirnya menunggu takdir untuk jatuh. Pada 5 Maret 1942, Jepang melancarkan serangan udara ke Cilacap. Bom-bom yang dijatuhkan dari udara oleh pesawat Mitsubishi G3M jelas tidak bisa dilawan oleh benteng yang sarana pertahanan udaranya kurang memadai. Sejumlah kapal yang bersandar behasil dirusak. Walau sudah diperkuat kembali, pada akhirnya benteng itu gagal melindungi kota Cilacap dari serangan Jepang yang lebih mutakhir persenjataanya. Akhirnya pada 8 Maret 1942, Detasemen Sakaguchi yang bergerak dari Jawa Timur berhasil menguasai Cilacap dengan mudah (Remmelink, 2018: 401)

Referensi
Departement of Public Works. 1920. Netherland East India Harbours. Singapore: C.A. Riberio & Co.

Junearto, Wendy Fansiya. 2014. Fungsi Benteng Peninggalan Belanda di Kabupaten Cilacap : Pendekatan Lokasional, Yogyakarta; Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Skripsi.

Kielstra, E. B. 1879. De Grondslagen der Verdediging van Java.

Mantel, P. G. 1930. De Verdediging van Nederlandsch Indie. Breda : De Koninklijke Militaire Academie.

Van Gijn.1913.Rapport van de Staatscommisie voor de Verdediging van Nederlandsch Indie. 'S-Gravenghage : Js. Bootsma Electrische Drukkerij.

Rocher, Jean dan Iwan Santosa. 2016. KNIL ; Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Perancis. Jakarta; Penerbit Kompas.

Remmelink, Willem (ed). 2018. The Operations of the Navy in the Dutch East Indies and the Bay of Bengal. Leiden : Leiden University Press.

Tim Penyusun. 2012. Forts in Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Van Brakell, Vaynes. 1863. De Verdediging van Nederlandsch Indie. Amsterdam : P.N. Van Kampen.

Veth, P. J. 1882. Java, geographisch, ethnologisch, en Historich. Haarlem : De Erven F. Boh.

De Locomotief 18 Desember 1884

Senin, 09 April 2018

Memuliakan Sejarah Gombong di Roemah Martha Tilaar

Saat berada di Gombong, sesudah mampir ke Benteng Van der Wijck, saya mencoba singgah di Roemah Martha Tilaar Gombong yang terletak di jalan Sempor Lama. Sengkalan berangka tahun 1920 terpampang jelas di fasad rumah bergaya Eropa itu, menandakan bahwa rumah itu hampir menginjak usia seabad.
Roemah Martha Tilaar dulunya merupakan kediaman seorang Tionghoa kaya bernama Liem Siauw Lam. Karena kekayaanya, Liem Siauw Lam dijuluki Rijkman van Gombong, Orang Kaya dari Gombong.
Tampilan Roemah Martha Tilaar Gombong mengingatkan saya pada gaya arsitektur kolonial peralihan yang berkembang antara akhir abad 19 dan awal abad 20. Kehadiran arsitektur kolonial peralihan menandai terjadinya perubahan dalam trend arsitektur di Hindia-Belanda dari "Indische Empire" menuju "Kolonial Modern". Pada arsitektur kolonial peralihan, bagian depan sudah tidak menampakan kolom atau pilar bergaya Yunani yang menjadi ciri khas gaya Indische Empire. Sebagai gantinya, fasad arsitektur rumah tradisional Belanda di tepi sungai dimunculkan kembali untuk memberikan kesan romantis seperti yang terlihat pada bagian depan bangunan Roemah Martha Tilaar Gombong ini. Selain itu juga ditambahkan jenis hiasan-hiasan yang belum dikenal pada periode sebelumnya seperti kaca patri bermotif Art Nouveau. Namun jika beranjak ke dalam bangunan, penataan denah rumah utamanya tidak berbeda jauh dengan bangunan periode sebelumnya. Ciri-ciri yang masih terlihat seperti denah yang masih simetris, adanya beranda depan atau voor galerij tempat menerima tamu, beranda belakang atau achter galerij tempat keluarga berkumpul yang sifatnya privat, dan memiliki empat ruang kamar yang saling berhadapan, dipisahkan oleh sebuah koridor tengah yang menghubungkan beranda depan dengan beranda belakang. Selain itu bangunan juga masih memiliki bangunan samping yang dahulu digunakan sebagai kamar tambahan, dapur, dan kamar mandi. Gaya arsitektur ini berlangsung singkat sehingga keberadaannya masih luput dalam sejarah arsitektur Indonesia masa kolonial (Handinoto, 2012; 124-125). 
Beranda depan dengan hiasan kaca patri bergaya Art Nouveau.
Pintu depan.
Kaki ini kemudian menjejak ke bagian beranda depannya yang sedap dipandang mata. Dari sini, terlihatlah keanggunan kaca patri  bergaya Art Nouveau yang kaya warna, mempercantik beranda depan yang sudah dihiasi dengan tegel kaya motif dan perabot antik. Keindahan rumah ini merupakan cerminan kemakmuran dari seorang Tionghoa kaya bernama Liem Siauw Lam. Moyangnya berasal wilayah Xian Men, Tiongkok. Pada 1830, Liem Seng, kakek Liem Siauw Lam berlayar meninggalkan kampung halamannya menuju Batavia, kemudian berpindah ke Tegal, dan akhirnya bermukim di Gombong. Mengapa memilih Gombong ? Alasannya adalah kondisi keamanan di Gombong relatif stabil menginat di sana terdapat kamp militer Belanda. Komunitas Tionghoa sendiri sudah menetap di Gombong semenjak Belanda mendirikan garnisun militer di sana pada tahun 1840an. Orang-orang Tionghoa tersebut memiliki mata pencaharian sebagai pedagang perantara dan pemasok daging, roti, dan susu untuk garnisun militer (Rees, 1900;12-16)
Liem Kang Haij dan Oeij In Nio, orang tua Liem Siauw Liem berpose di beranda depan.
Liem Siauw Lam dan Bhe Sian Nio.
Liem Siauw Lam terjun dalam bisnis perternakan sapi dan perdagangan hasil bumi. Sebagai seorang usahawan di Gombong, Liem Siauw Lam atau acap dipanggil Liem Solan memiliki lahan tanah yang lumayan luas. Dari tanah itulah Liem Siauw Lam mendirikan usaha peternakan yang menghasilkan daging dan susu yang dipasok untuk garnisun Belanda di benteng Van der Wijck. Selain itu, ia juga berbisnis kopra dan sarang walet.Seringnya Liem Siauw Lam bersentuhan dengan orang Eropa yang tinggal di Gombong tampaknya menjadi penuntun untuk mendirikan rumah tinggalnya dalam gaya Eropa agar tidak dikatakan ketinggalan gengsi. Pada saat itu, sudah menjadi hal yang lumrah bagi orang Tionghoa kaya untuk membangunnya rumah dalam bentuk yang mirip dengan rumah orang Belanda untuk menyejajarkan statusnya dengan orang Belanda. Orang Tionghoa dikenal sebagai pedagang yang pandai dan situasi perdagangan swasta pada akhir abad 20 yang tumbuh subur berkat kebijakan ekonomi liberal membuat mereka dapat menghimpun kekayaan dalam jumlah besar.
Paviliun samping.
Ruang tamu.
Ruang tidur.
Sayangnya  kekayaan yang berhasil diraih mereka belum cukup untuk membuat kedudukan sosial mereka setara dengan orang Eropa yang setingkat di atasnya. Beberapa pembatasan diberlakukan untuk orang Tionghoa seperti dilarang tinggal di luar kawasan Pecinan dan tidak boleh mengenakan pakaian bergaya Eropa. Baru memasuki abad 20 pembatasan tersebut mulai dihapuskan (Liem Thian Joe, 1931;184). Selain membangun rumah mewah, dari kekayaannya Liem Siauw Lam mampu membeli mobil Ford Model T yang tersohor. Sekalipun bergaya hidup flamboyan, namun keluarga Liem Siauw Lam memiliki jiwa sosial. Istri Liem Siauw Lam menyediakan peralatan batik untuk pembatik perempuan di Gombong. Di masa perjuangan, rumah ini pernah dipakai sebagai dapur umum dan tempat perawatan tentara Indonesia yang terluka kala melawan tentara NICA.
Altar leluhur.
Koridor tengah yang dilengkapi dengan partisi penghalang.
Kendati tampak bergaya hidup kebarat-baratan, orang-orang Tionghoa masih tetap memegang teguh tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Di Roemah Martha Tilaar Gombong yang bentuknya seperti rumah orang Belanda ini, ada perabot yang sama sekali tidak ditemukan pada rumah orang Belanda namun jamak dijumpai di setiap rumah keluarga Tionghoa yakni altar leluhur sebagai tempat untuk mengenang dan menghormati leluhur yang sudah tiada. Selain itu, kaidah fengshui yang dipercayai dapat mempengaruhi kehidupan seseorang juga dipatuhi dengan memasang pintu penghalang di mulut koridor tengah karena tidak baik pintu masuk berhadapan langsung dengan pintu belakang dianggap sehingga perlu adanya sebuah penghalang.
Tampak luar beranda belakang.
Beranda belakang tempat keluarga dahulu bercengkerama.
Saat melintas di koridor tengah, saya melihat keterangan pohon silsilah dari keluarga Liem. Dari sekian nama yang ada di pohon silsilah itu, ada satu nama yang semua perempuan di negeri ini pasti tahu sosoknya, Martha Tilaar. Hingga usia sebelas tahun, Martha Tilaar kecil tinggal di rumah kakeknya. Kamarnya dulu terletak di bangunan samping kiri rumah. Setelah itu, ia pergi dari Gombong untuk meneruskan pendidikannya. Singkat cerita, Martha Tilaar akhirnya sukses di bisnis kosmetik. Semangat jiwa sosial Liem Siauw Lam menurun pada Martha Tilaar. Kesuksesan yang diraih oleh Martha Tilaar tidak membuatnya serta merta melupakan tanah kelahirannya. Di situlah Martha Tilaar bercita-cita ingin memberi sumbangsih nyata untuk tanah kelahirannya. 
Selasar pada bangunan samping.
Bersama putrinya, Wulan Tilaar, Martha Tilaar mewujudkan bakti pada kampung halamannya dengan membuka “ Roemah Martha Tilaar “ pada Desember 2014. Roemah Martha Tilaar menempati bekas rumah kakeknya yang sempat terlantar selama puluhan tahun. Tahun 2014, rumah itu dipoles oleh Martha Tilaar dan keontetikan bangunan dijaga sebaik mungkin. “ Rumah ini bukan hanya bersejarah tapi merupakan bakti kami kepada Gombong, Kebumen, dan kota sekitar. Dengan dukungan pemangku kepentingan kota Gombong, semoga rumah ini berguna siapa tahu akan lahir bibit muda bangsa asal Gombong “, pesan Martha Tilaar dilansir dari laman roemahmarthatilaar.org. Setelah bersolek kembali, rumah kuno kakeknya yang menjadi salah satu warisan sejarah Gombong dimanfaatkan untuk beragam kegiatan dari diskusi, lokalatih, festival, pertunjunkan dan pameran seni, sehingga keberadaan warisan sejarah ini dapat memberi faedah untuk masyarakat sekitar, tak sekedar menjadi barang mati saja yang hanya bisa dilihat. Ya, Roemah Martha Tilaar Gombong kini menjelma laksana seorang gadis cantik berbudi mulia.

Begitulah cara Martha Tilaar memuliakan sejarah Gombong, tanah kelahirannya. Apa yang dilakukan oleh Martha Tilaar memang patut diacungi jempol di tengah carut marutnya pelestarian warisan sejarah di Indonesia. Di negara maju, para filantropis dan dermawan biasanya akan membeli gedung-gedung tua bersejarah untuk dipakai kegiatan masyarakat, dengan demikian keberadaanya tak hanya lestari namun juga memberi faedah untuk masyarakat. Andai saja di negeri ini ada banyak sosok Martha Tilaar yang peduli dengan warisan sejarah – dan tentunya memiliki banyak modal, saya percaya akan sedikit cerita suram nasib Cagar Budaya yang terdengar di telinga…

Referensi :
Handinoto. 2012. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Liem Thian Joe. 1931. Riwajat Semarang. Semarang : Boekhandel Ho Kim Joe.

Rees. A.W, 1900. Herinneringen van Een Indisch Officier. Batavia : G. Kolff & Co.